Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Wow, Perusahaan Pertahanan Rusia Raup Pendapatan Fantastis meski Dihujani Sanksi Amerika Cs
Advertisement . Scroll to see content

Dari Sekutu Jadi Ancaman, Kisah Pahit Imigran Afghanistan yang Berbalik Menyerang AS

Jumat, 28 November 2025 - 16:18:00 WIB
Dari Sekutu Jadi Ancaman, Kisah Pahit Imigran Afghanistan yang Berbalik Menyerang AS
Amerika Serikat kembali diguncang tragedi kekerasan, kali ini oleh sosok yang ironisnya pernah menjadi sekutu penting dalam operasi militer (Foto: AP)
Advertisement . Scroll to see content

WASHINGTON, iNews.id - Amerika Serikat kembali diguncang tragedi kekerasan, kali ini oleh sosok yang ironisnya pernah menjadi sekutu penting dalam operasi militernya. 

Penembakan dua tentara Garda Nasional di dekat Gedung Putih pada Rabu (26/11/2025) menjadi tamparan keras bagi Washington, setelah terungkap bahwa pelaku adalah Rahmanullah Lakanwal (29), imigran Afghanistan yang pernah bekerja untuk pasukan elite AS dan bahkan lembaga intelijen CIA.

Serangan tersebut menewaskan seorang tentara perempuan sehari setelah kejadian dan membuat seorang lainnya kritis. Lokasinya yang begitu dekat dengan jantung kekuasaan AS menambah bobot tragedi sekaligus memperlebar sorotan publik terhadap proses keamanan, imigrasi, dan pembinaan mantan mitra perang.

Dulu Sekutu, Kini Pelaku Penyerangan

Rahmanullah bukan orang asing dalam lingkar operasi militer AS. Selama bertahun-tahun, ribuan warga Afghanistan bekerja sebagai penerjemah, pemandu, dan mitra operasi untuk pasukan A, termasuk CIA, selama perang panjang di Afghanistan. Banyak dari mereka dijanjikan perlindungan dan kesempatan hidup baru di Amerika karena kontribusinya.

Namun perjalanan Rahmanullah justru berubah tragis. Setelah pindah ke Amerika pada September 2021, tahun penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan, dia mendapat status suaka pada awal 2025. Beberapa bulan kemudian, dia melakukan serangan mematikan terhadap prajurit negeri yang pernah menjadi majikannya.

Pertanyaannya kini: apa yang membuat seorang sekutu berubah menjadi ancaman bersenjata?

Motif Gelap yang Belum Terungkap

Presiden Donald Trump menyebut motif pelaku “belum jelas” namun langsung mengaitkannya dengan terorisme.

“Siapa yang tahu apa motifnya, tapi apa yang dia lakukan sungguh mengerikan,” ujar Trump, saat berbicara dengan pasukan militer dalam momen Thanksgiving. 

Dia menegaskan serangan ini sebagai “ancaman terorisme” dan mengaitkannya dengan efektivitas Garda Nasional dalam menekan angka kriminalitas di Washington DC.

Meski demikian, otoritas penegak hukum belum memastikan apakah aksi Rahmanullah bermuatan ideologi, dendam pribadi, gangguan mental, atau motif lain.

Dugaan Celah Vetting: Apakah Amerika Salah Mengambil Risiko?

Kasus Rahmanullah kembali membuka perdebatan sengit tentang kebijakan imigrasi dan proses vetting terhadap mantan mitra perang AS. Para analis keamanan menyoroti tiga hal:

Proses pemeriksaan latar belakang terhadap penerima suaka dari zona perang sangat bergantung pada catatan intelijen yang kadang tidak lengkap.

Trauma pascaperang sering kali tidak terdeteksi dan tidak ditangani, terutama pada mereka yang bekerja di garis depan konflik.

Perpindahan dari zona perang ke kehidupan sipil di AS dapat menimbulkan guncangan besar, termasuk tekanan ekonomi dan sosial.

Semua kemungkinan kini menjadi bagian dari penyelidikan FBI.

Dakwaan Berat Menanti

Rahmanullah menyerang korban dengan pistol revolver Smith & Wesson. Dia akan didakwa dengan tiga tuduhan penyerangan, dan menurut Jaksa Agung Pam Bondi, tuntutan hukuman mati akan diajukan karena salah satu korban akhirnya tewas.

Insiden ini memicu peningkatan keamanan di sekitar Gedung Putih dan menambah kekhawatiran publik bahwa ancaman dapat datang dari individu yang justru pernah menjadi bagian dari jejaring kerja sama militer AS.

Potret Pahit Loyalitas yang Retak

Kisah Rahmanullah mencerminkan paradoks paling pahit dari perang: mereka yang dulu sangat dibutuhkan, sering kali kemudian merasa terlupakan atau tertekan oleh realitas baru. Banyak imigran Afghanistan menghadapi kesulitan adaptasi, birokrasi panjang, dan beban psikologis yang berat setelah relokasi.

Namun kasusnya kini menjadi peringatan keras bahwa risiko tersebut bisa berkembang menjadi ancaman serius jika tidak terdeteksi sejak dini.

Tragedi Ini Tinggalkan Pertanyaan Besar

Serangan dekat Gedung Putih ini meninggalkan sederet pertanyaan yang belum terjawab:

  • Apakah Rahmanullah bertindak sendiri atau dipengaruhi jaringan tertentu?
  • Apakah ada sinyal bahaya yang dilewatkan selama proses pemberian suaka?
  • Seberapa siap AS menangani para mantan mitra yang membawa trauma konfliknya?

Selagi FBI melanjutkan penyelidikan menyeluruh, publik Amerika kini berhadapan dengan kenyataan pahit: tidak semua sekutu di medan perang akan tetap menjadi sekutu di tanah baru.

Tragedi ini menjadi pengingat keras bahwa perang tidak hanya meninggalkan luka di negara konflik, tetapi juga dapat memunculkan ancaman baru jauh setelah senjata diredam.

Editor: Anton Suhartono

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut