Darurat Militer Gagal, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Mundur atau Dimakzulkan
SEOUL, iNews.id - Jabatan Yoon Suk Yeol sebagai presiden Korea Selatan (Korsel) berada di ujung tanduk setelah menerapkan status darurat militer pada Selasa (3/12/2024) malam. Status itu hanya berlaku beberapa jam atau sampai Rabu pagi waktu setempat setelah mayoritas anggota parlemen Majelis Nasional menolaknya.
Sekitar 40 anggota parlemen berencana memulai proses pemakzulan terhadap Yoon pada hari ini juga, jika dia menolak seruan untuk mundur.
Anggota parlemen lain, termasuk para pemimpin Majelis Nasional, telah meminta Yoon segera mundur sebelum proses pemakzulan dimulai.
Sementara itu salah satu serikat buruh terbesar di Korsel, Konfederasi Serikat Buruh Korea (KCTU), juga menyerukan kepada para anggotanya untuk melakukan mogok kerja sampai Yoon mengundurkan diri.
Dalam posting-an di Facebook, KCTU menyebut status darurat militer oleh Yoon sebagai kejahatan pemberontakan. Organisasi itu juga menyerukan kepada lebih dari 1 juta anggotanya untuk turun ke jalan di Seoul maupun daerah lain pada Rabu pagi.
"Yoon Suk Yeol telah memilih cara darurat militer yang tidak rasional dan anti-demokrasi untuk memperpanjang napas politiknya karena dia telah terdesak ke tepi jurang," bunyi pernyataan KCTU, seperti dikutip dari BBC.
Status darurat militer yang diumumkan Yoon mengejutkan banyak pihak karena negara tak dalam kondisi genting. Bahkan penolakan tak hanya datang dari oposisi, melainkan kubu yang berkuasa sekaligus penyokong Yoon, Partai Kekuatan Rakyat.
Setelah Yoon mengumumkan darurat militer, para anggota parlemen bergegas kembali ke kantor mereka untuk menggelar sidang darurat yang agendanya pemungutan suara menolak keputusan presiden tersebut.
Beberapa anggota parlemen, seperti pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, Hong Keewon, bahkan memanjat tembok agar bisa memasuki gedung parlemen yang dijaga ketat polisi. Petugas sempat melarang masuk siapa pun termasuk anggota parlemen masuk, meski akhirnya mengizinkan.
Yoon menjadi presiden yang tidak berdaya sejak pemilihan umum (pemilu) terakhir. Kubu oposisi menang telak dan menguasai parlemen. Dampaknya pemerintahan Yoon sangat sulit untuk meloloskan undang-undang (UU). Sebaliknya Yoon menggunakan wewenangnya sebagai presiden untuk memveto UU yang disahkan kalompok oposisi.
Situasi diperumit dengan skandal yang dihadapi Ibu Negara Kim Keon Hee yang dituduh korupsi atau menyalahgunakan posisinya untuk membuat pengaruh. Oposisi juga berkali-kali meluncurkan penyelidikan terhadap Ibu Negara, namun digagalkan oleh Yoon.
Pekan ini, kubu oposisi di parlemen memangkas anggaran yang diajukan oleh pemerintah serta partai berkuasa. Masalahnya, rancangan anggaran itu tidak bisa diveto oleh Yoon.
Ketegangan belum berakhir, kelompok oposisi mengincar beberapa menteri di kabinet Yoon untuk dimakzulkan, terutama kepala badan audit pemerintah, karena enggan menyelidiki Kim.
Dalam situasi yang terpojok, Yoon merasa perlu untuk memulihkan ketertiban pemerintahannya dari gangguan oposisi. Dia menyebut ada kekuatan anti-pemerintah yang berusaha melumpuhkan negara.
Media Korsel Hankyoreh melaporkan saat rapat kabinet pada 2024, Yoon memicu kritik setelah mengatakan ada kekuatan anti-pemerintah yang mengancam kebebasan demokrasi yang diam-diam beroperasi di masyarakat.
Yoon juga menuduh kubu oposisi bekerja sama dengan Korea Utara untuk mengacaukan pemerintahan nasional serta memecah belah bangsa.
Namun itu bukan pertama kali Yoon mengungkapkan sentimen serupa. Dalam sambutannya kepada anggota Partai Kekuatan Rakyat pada 2021, Yoon mengatakan mereka yang bergabung dengan gerakan pro-demokrasi telah mempelajari ideologi revolusioner sayap kiri dan teori juche Korea Utara, merujuk pada ideologi Marxis di negara tetangganya itu.
Editor: Anton Suhartono