Demi Solidaritas Gaza, Umat Kristiani Suriah Rayakan Natal secara Sederhana
DAMASKUS, iNews.id - Gereja-gereja di Suriah membatasi perayaan sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina yang menderita akibat perang di Gaza. Perayaan digelar secara sederhana.
"Di Palestina, tempat kelahiran Yesus Kristus, orang-orang menderita," kata Uskup Katolik Suriah Aleppo Mor Dionysius Antoine Shahda, kepada AFP, Minggu (24/12/2023).
Distrik pusat kota Azizia di Suriah utara biasanya dipenuhi dengan pasar meriah dan pohon Natal raksasa, sementara jalanan dihiasi lampu dan ornamen. Namun tahun ini, alun-alun utama hampir kosong dan tidak ada dekorasi Natal yang terlihat.
"Di Suriah, kami membatalkan semua perayaan resmi dan resepsi di gereja-gereja kami sebagai bentuk solidaritas dengan korban bombardir di Gaza oleh pasukan Israel," ujar Shahda.
Gereja Katolik Suriah tidak sendirian, pemimpin dari tiga gereja besar Suriah lainnya—Yunani Ortodoks, Ortodoks Suriah, dan Patriarkat Katolik Yunani Melkit—mengumumkan pembatalan perayaan Natal dan membatasi perayaan hanya pada upacara keagamaan.
"Mengingat keadaan saat ini, terutama di Gaza, kami minta maaf karena tidak menerima ucapan selamat Natal dan Tahun Baru," demikian pernyataan bersama ketiganya, menambahkan bahwa mereka membatasi upacara hanya pada doa.
Kementerian Kesehatan di wilayah Palestina menyatakan bahwa lebih dari 20.000 orang tewas di Jalur Gaza sejak Israel melancarkan serangan udara dan darat massif. Sebagian besar yang tewas di Gaza adalah perempuan dan anak-anak.
Warga Damaskus, Rachel Haddad (66), mengatakan bahwa ia telah terpaku pada ponselnya selama lebih dari dua bulan, membaca berita tentang kehancuran di Gaza, dan tidak punya hati untuk memasang pohon Natal.
"Tahun ini sangat sedih. Dimulai dengan gempa bumi dan berakhir dengan perang di Gaza," kata Haddad, merujuk pada gempa bumi tanggal 6 Februari yang melanda selatan Turki dan Suriah.
"Tidak ada kesempatan untuk kegembiraan," katanya, juga menyalahkan masalah ekonomi Suriah. Ekonomi negara itu telah hancur oleh perang, dengan kelangkaan bahan bakar yang berulang dan pemadaman listrik harian yang panjang sebagai kenyataan hidup.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq