Demonstrasi di Amerika Serikat
Deden Rukmana
Professor and Chair of the Department of Community and Regional Planning at Alabama A&M University
BANYAK teman di Indonesia menanyakan kepada saya tentang kondisi di AS saat ini. Mereka melihat berita tentang demonstrasi yang berakhir menjadi kerusuhan yang terjadi di banyak kota dan berharap agar semua aman dan selamat.
Demonstrasi ini diawali oleh kematian pria kulit hitam bernama George Floyd. Dia meninggal di tangan seorang polisi Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, bernama Derek Chauvin pada 25 Mei lalu.
Kekerasan polisi yang berakhir dengan kematian korban sudah sering terjadi. Laman mappingpoliceviolence.org mendokumentasikan kekerasan polisi di AS yang berakhir kematian. Kematian George Floyd menjadi kontroversial karena dia tidak bersenjata saat ditangkap, sudah tidak berdaya saat tercekik. Dan yang paling penting, dia orang berkulit hitam dan polisi pembunuhnya orang berkulit putih.
Melalui tuilsan ini, saya mencoba untuk menjelaskan akar permasalahan yang menyebabkan kekerasan polisi terhadap orang hitam di AS dan apa yang dituntut oleh pelaku demonstrasi tersebut.
Ras dalam kehidupan di AS
AS adalah negara yang sangat unik. Kategori yang sangat penting untuk menjelaskan seseorang di AS adalah ras atau warna kulit. Kategori lainnya seperti umur, jenis kelamin, agama, asal daerah, dan sebagainya adalah menjadi nomor dua setelah ras dan warna kulit itu.
Hal ini terkait dengan sejarah panjang AS dengan perbudakannya lebih dari 200 tahun sampai pada 1865 ketika amendemen ke-13 ditambahkan ke dalam UUD AS seiring dengan berakhirnya perang saudara. Perang saudara di AS juga dipicu oleh perbedaan soal perbudakan tersebut.
Berakhirnya perang saudara dan perbudakan tidak serta-merta membuat orang hitam memiliki status yang sama dengan orang putih di AS. Negara-negara bagian di selatan AS (Confederate States) sebagai pihak yang kalah dalam perang saudara itu, tidak ingin orang hitam hidup beriringan dan sejajar dengan mereka. Mereka membuat peraturan lokal di tingkat negara bagian dan kota yang kemudian disebut Peraturan Jim Crow.
Peraturan Jim Crow ini menyegregasi sekolah, moda transportasi, tempat tinggal, dan fasilitas publik lainnya berdasarkan ras dan warna kulit. Semasa Peraturan Jim Crow ini, banyak kekerasan yang dilakukan oleh orang putih terhadap orang hitam misalnya lynching. Bacaan tambahan yang lengkap tentang ini bisa ditemui di laman The American Yawp, pada artikel berjudul Life in Industrial America.
Perlakuan orang putih terhadap orang hitam semasa perbudakan dan berlanjut dengan diskriminasi dan kekerasan khususnya di negara-negara bagian selatan semasa Peraturan Jim Crow adalah penting untuk memahami perlakuan orang putih terhadap orang hitam di AS saat ini. Peraturan Jim Crow yang diskriminatif itu baru dihapuskan pada 1964 ketika berlakunya Civil Right Act of 1964 dan Voting Right Act of 1965.
Demonstrasi terhadap hak-hak sipil
Diberlakukannya Civil Right Act of 1964 dan Voting Right Act of 1965 untuk menghapus Peraturan Jim Crow yang diskriminatif tersebut berawal dari demonstrasi yang dilakukan oleh orang hitam di AS yang menuntut hak-hak sipilnya yang dilakukan hampir sepuluh tahun.
Demonstrasi-demonstrasi tersebut berlangsung secara tertib, baik yang dilakukan secara individual maupun massal. Demonstrasi secara individual misalnya yang ditunjukkan Rosa Parks, seorang perempuan hitam di Montgomery, Alabama yang menolak untuk menyerahkan kursinya di bus kota ke lelaki putih pada 1 Desember 1955. Sementara, demonstrasi massal seperti yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr di Washington DC dan dihadiri lebih dari 200.000 orang pada 28 Agustus 1963.
Tanpa suara-suara dan demonstrasi yang disampaikan oleh orang-orang hitam tersebut, penghapusan Hukum Jim Crow yang diskriminatif tidak akan terjadi. Demonstrasi-demonstrasi tersebut tentunya mendapatkan juga perlawanan dan opresi oleh institusi dan orang-orang putih di berbagai tempat.
Melalui proses yang panjang dan juga dukungan dari politisi berkulit putih yang lebih terbuka misalnya John F Kennedy dan Lyndon B Johnson, akhirnya demonstrasi tersebut menghasilkan perubahan hak-hak sipil orang hitam di AS.
Ketidakadilan dalam sistem hukum pidana
Film dokumentasi berjudul "13th" yang diproduksi Netflix pada 2016 menceritakan bagaimana sistem politik dan kebijakan di AS melakukan kriminalisasi terhadap orang hitam. Film ini menceritakan terjadinya ketidakadilan hukum pidana bagi orang Hitam. Setelah berakhirnya perang saudara, orang hitam dihukum secara tidak adil, masuk penjara dan bekerja tanpa upah untuk kepentingan negara bagian.
Film ini juga mengungkapkan pendapat para aktivis, sejarawan, dan ahli bagaimana politisi AS menggunakan “ketegasan untuk menindak kriminal” dan “pemenjaraan massal” sebagai kata kunci untuk menarik pemilih. Penguatan polisi di tingkat lokal juga dilakukan untuk menindak tegas kriminal. Orang hitam, khususnya lelaki, secara tidak proporsional adalah korban dari sistem ini.
Ketidakadilan dalam sistem hukum pidana yang merugikan orang hitam telah berlangsung ratusan tahun di AS. Kesalahan persepsi terhadap orang hitam sebagai pelaku kriminal telah melekat lama dalam kehidupan di AS. Semua ini adalah juga akibat dari legasi perbudakan dan Peraturan Jim Crow yang diskriminatif di masa lalu.
Kematian George Floyd dan kampanye antirasial
Kematian orang hitam akibat kekerasan polisi di AS sudah sering terjadi. Pada 2012, terbentuk gerakan Black Lives Matter yang mengkampanyekan antikekerasan dan sistematis rasial terhadap orang hitam.
Gerakan ini dipicu oleh tewasnya anak remaja hitam bernama Trayvon Martin di Florida (Februari 2012). Tewasnya Eric Garner di New York City (Juli 2012) dan Michael Brown di Ferguson (Agustus 2014) juga menguatkan gerakan ini. Gerakan ini meredup seiring dengan terpilihnya Presiden Donald Trump sebagai presiden AS pada 2016.
Kematian George Floyd kembali menggugah gerakan Black Lives Matter untuk mengkampanyekan antikekerasan dan perlawanan atas ketidakadilan terhadap orang hitam. Para demonstran di berbagai kota di negeri Paman Sam menuntut keadilan terhadap orang hitam yang selama ini menjadi korban secara tidak proporsional dari sistem hukum pidana dan kehidupan secara umum di AS.
Terima kasih kepada semua pembaca. Besar harapan saya agar kita semua belajar dari pengalaman di AS untuk bisa mewujudkan dunia yang lebih adil bagi semua. Keadilan adalah hak asasi semua manusia. ***
Editor: Ahmad Islamy Jamil