Disorot karena Gelar Rapat Jam 3 Pagi, PM Jepang Takaichi: Kerja, Kerja, Kerja!
TOKYO, iNews.id - Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi kembali menjadi sorotan setelah pernyataannya yang dianggap semakin menegaskan budaya kerja ekstrem di Negeri Sakura.
Di tengah kritik publik karena memaksa staf rapat pukul 03.00 dini hari, Takaichi justru menegaskan pemerintahannya tengah mempertimbangkan penghapusan batas lembur 45 jam per bulan, langkah yang dinilai banyak pihak akan makin “menghalalkan” lembur tanpa batas.
Komentar Takaichi, termasuk pengakuan hanya tidur 2 hingga 4 jam setiap malam, menjadi simbol dari gaya kepemimpinannya yang superintensif.
“Saya tidur sekitar 2 jam sekarang, paling lama 4 jam. Saya merasa itu buruk untuk kulit saya,” ujarnya, dalam rapat komite legislatif parlemen, Kamis (13/11/2025).
Pernyataan itu disampaikan ketika dia ditanya tentang pentingnya mengurangi jam kerja panjang yang telah lama menjadi masalah serius di Jepang.
Tak Ada Lagi Istilah Work-Life Balance
Pernyataan keras Takaichi bukan hal baru. Sebelum terpilih sebagai perdana menteri, politikus Partai Demokratik Liberal (LDP) itu bahkan terang-terangan menolak konsep keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.
“Bagi diri saya, saya akan bekerja, bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja!” ujarnya, sebuah slogan yang kini mulai terasa dampaknya dalam kebijakan pemerintahannya.
Sejak menjabat, Takaichi memang menjalani jadwal yang superpadat. Dia menghadiri berbagai agenda regional dan menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden AS Donald Trump, Presiden China Xi Jinping, hingga Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung.
Rencana penghapusan batas lembur memicu kekhawatiran Jepang akan kembali pada budaya kerja ekstrem yang sebelumnya berusaha mereka tinggalkan. Kritikus menilai langkah ini kontraproduktif dan berpotensi meningkatkan risiko kesehatan pekerja.
Arah Kebijakan Baru: Produktivitas Tanpa Rem?
Jepang selama puluhan tahun berjuang mengatasi budaya kerja berlebih yang memicu stres kronis hingga kasus karoshi, kematian akibat kerja berlebih. Namun, rencana pemerintahan Takaichi untuk meninjau ulang batas lembur menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan jam kerja.
Takaichi menjelaskan bahwa pekerja dan pemberi kerja memiliki kebutuhan berbeda, dan banyak warga Jepang yang kini menjalani dua pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup. Menurutnya, pembatasan lembur justru menjadi hambatan bagi sebagian pekerja dan perusahaan.
Di sisi lain, dia berjanji perubahan aturan lembur tidak akan mengabaikan kesehatan fisik dan mental karyawan.
“Jika kita bisa menciptakan situasi di mana orang bisa menyeimbangkan pengasuhan anak, bekerja, menikmati waktu luang, dan bersantai, itu akan ideal,” katanya, mengutip pandangan bahwa fleksibilitas seharusnya tetap dijaga.
Editor: Anton Suhartono