Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Formas Buka Jalan Investasi China, KEK Batang Disiapkan Jadi Lokomotif Industri
Advertisement . Scroll to see content

Dokter di Pusat Wabah Covid-19: Terlalu Lelah, Takut Terinfeksi, Pakai Popok Tiap Hari dan Ketakutan

Rabu, 12 Februari 2020 - 13:15:00 WIB
Dokter di Pusat Wabah Covid-19: Terlalu Lelah, Takut Terinfeksi, Pakai Popok Tiap Hari dan Ketakutan
Ilustrasi dokter yang menangania wabah virus korona. (FOTO: Ted ALJIBE / AFP)
Advertisement . Scroll to see content

BEIJING, iNews.id - Para dokter di garis depan wabah virus korona tipe baru atau Covid-19 menghadapi tugas yang menakutkan: mengobati pasien terinfeksi yang makin banyak dan berisiko terinfeksi.

Hal ini diperparah karena kurangnya masker dan peralatan pelindung lainnya secara drastis.

Lelah dan kekurangan staf, para pekerja medis harus berurusan dengan ribuan kasus baru per pekan di Wuhan, kota pusat penyebaran Covid-19 yang pertama kali muncul akhir tahun lalu.

Banyak dokter harus menemui pasien tanpa masker atau pelindung tubuh, tak jarang menggunakan kembali peralatan yang sama ketika seharusnya diganti secara teratur.

Beberapa bahkan memakai popok untuk menghindari melepas peralatan dan membuatnya bisa 'bertahan' bekerja lebih lama, menurut seorang pejabat kesehatan.

Seorang dokter di sebuah klinik komunitas di Wuhan mengatakan, dia dan setidaknya 16 rekannya menunjukkan gejala yang mirip dengan virus baru, termasuk infeksi paru-paru dan batuk.

"Sebagai dokter, kami tidak ingin bekerja sambil menjadi sumber infeksi," katanya kepada AFP, meminta syarat anonimitas karena takut.

"Tetapi saat ini, tidak ada yang menggantikan Anda," kata dokter itu, menjelaskan.

Dia menyebut, semua staf medis tanpa demam harus bekerja.

"Apa yang akan terjadi jika tidak ada yang bekerja di garis depan?"

Sekitar 44 persen dari 42.600 kasus di seluruh China terjadi di Wuhan, rumah bagi pasar hewan liar tempat virus itu diduga berasal, sebelum menyebar di antara manusia.

Risiko yang dihadapi staf medis disorot setelah Li Wenliang, seorang dokter whistleblower di Wuhan, meninggal karena penyakit itu lebih dari sebulan setelah dia pertama kali memeperingatkan soal virus mirip SARS itu.

Kematiannya memicu luapan kesedihan dan kemarahan di media sosial China. Sebanyak 10 akademisi di Wuhan mengedarkan surat terbuka yang menyerukan reformasi politik dan kebebasan berbicara.

Wakil Wali Kota Wuhan mengatakan bahwa kota itu saat ini kekurangan 56.000 masker N95 setiap hari dan 41.000 pakaian pelindung.

"Staf medis dalam pakaian pelindung akan memakai popok, mengurangi berapa banyak air yang mereka minum, dan mengurangi berapa kali mereka menggunakan kamar mandi," kata Jiao Yahui, seorang pejabat tinggi di Komisi Kesehatan Nasional China.

Beberapa dari mereka akan mengenakan pakaian pelindung yang sama selama enam atau bahkan sembilan jam. Padahal pakaian pelindung seharusnya tidak dikenakan lebih dari empat jam di bangsal yang dikarantina.

"Tentu saja, kami tidak menganjurkan metode ini, tetapi staf medis benar-benar tidak punya alternatif," akunya.

Pemerintah China merespons dengan memobilisasi seluruh negara untuk meningkatkan produksi masker dan pakaian pelindung.

Pada Senin lalu, tiga perempat produsen masker dan pakaian sudah kembali bekerja setelah liburan Tahun Baru Imlek yang diperpanjang, kata Cong Liang, seorang pejabat perencana ekonomi top China.

China juga sudah mengimpor lebih dari 300 juta masker dan sekitar 3,9 juta pakaian pelindung sejak 24 Januari.

Perhimpunan Palang Merah China juga sudah menerima lebih dari 900 juta yuan (129 juta dolar) dalam bentuk donasi untuk bantuan menghadapi wabah -meskipun negara itu juga disorot karena kurangnya transparansi dan efisiensi.

"Bahkan jika kita menerima lebih banyak masker, jumlah pasien meningkat lebih cepat," kata seorang dokter di rumah sakit besar Wuhan, yang meminta namanya tak dipublikasi.

Setiap dokter atau perawat menggunakan dua hingga empat masker setiap hari, jelasnya.

"Konsumsi masker di rumah sakit sangat besar," kata dia, menekankan.

"Mereka kekurangan masker."

Para dokter juga dipaksa mengenakan pakaian hazmat darurat, yang tidak memiliki perlindungan yang memadai terhadap virus korona.

Xu Yuan (34) yang tinggal di AS menyumbangkan 5.000 dolar bantuan untuk pengadaan alat pelindung kepada mantan teman sekelasnya yang bekerja di rumah sakit Wuhan.

"Begitu dia memakainya, (jas) itu retak karena terlalu kecil untuknya," katanya, sambil menggambarkan seorang temannya di Wuhan -yang juga dipaksa mengenakan jas hazmat yang sama selama lima hari.

"Setiap hari, dia mendisinfeksi (jas) setelah digunakan," katanya, kepada AFP.

"Dia bilang itu mungkin tidak berguna, tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali."

Seorang dokter di rumah sakit besar di Wuhan juga menyebut semua rekannya yang menangani pasien positif virus korona sangat kelelahan.

"Mereka kelelahan," katanya, kepada AFP.

Salah satu rekannya, misalnya, bekerja di sebuah klinik yang menerima 400 pasien dalam waktu delapan jam.

"Banyak yang berurusan dengan pasien yang mati sangat cepat, yang belum berhasil mereka selamatkan," katanya.

"Mereka memiliki banyak tekanan," kata dokter itu.

Banyak warga Wuhan juga khawatir, kata dokter di klinik komunitas.

Dia dan rekan-rekannya menerima telepon dari anggota masyarakat yang tertekan, beberapa di antaranya terlalu takut untuk meninggalkan rumah mereka.

"Anda dapat mendengar panggilan mereka meminta bantuan, tetapi tangan Anda terikat," kata dokter itu, menggambarkan keluarga tempat pasien terjebak di rumah tanpa perawatan medis.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan."

Editor: Nathania Riris Michico

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut