Dubes Palestina untuk RI: Kami Tetap Tegar di Tanah Sendiri
JAKARTA, iNews.id - Masyarakat Palestina hanya menuntut kemerdekaan dari penjajahan politik sebagaimana terjadi saat ini di negara itu. Investasi senilai 50-60 miliar dolar yang dijanjikan Amerika Serikat (AS), sebagaimana disampaikan dalam konsep usulan ekonomi sebagai bagian dari proposal perdamaian Timur Tengah yang baru tak bisa melepaskan Palestina dari belenggu sejak puluhan tahun.
Duta Besar (Dubes) Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun menegaskan dengan hilangnya penjajahan politik, maka Palestina bisa mandiri secara ekonomi.
“Dengan hilangnya penjajahan tersebut, masyarakat Palestina akan bisa bangkit secara ekonomi, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya,” kata Zuhair, di Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Pernnyataan ini merupakan tanggapan Palestina atas konferensi Bahrain yang digelar atas inisiatif AS di Kota Manama pada 25-26 Juni 2019. Palestina menolak hadir dalam konferensi tersebut karena menganggap sebagai permainan licik pemerintah AS.
Dia menekankan, masyarakat Palestina sesungguhnya memiliki kemampuan yang sama seperti bangsa-bangsa lain di dunia.
Proyek ekonomi AS yang dipaparkan dalam Konferensi Bahrain, kata dia, akan mengambil hak masyarakat Palestina serta mempersulit kewarganegaraan mereka di masa yang akan datang.
Lebih lanjut, Palestina memandang proyek tersebut tidak dilakukan atas dasar niat yang tulus, melainkan mencari keuntungan bagi pengusaha-pengusaha AS.
Selain itu, Israel yang juga menjadi bagian penting dari konferensi, telah mengambil pemasukan milik Palestina berupa pajak dan penghasilan lain sejak beberapa bulan lalu.
Dengan berbagai tantangan dan posisi sulit yang dihadapi oleh Palestina, Zubair menyebut mereka akan tetap memperjuangkan diri.
“Kami ingin menekankan bahwa kami tetap tegar di tanah sendiri. Kami tidak akan pernah menyerahkan tanah, penghuni-penghuninya, serta pajak yang dihasilkan di dalamnya kepada pemerintah Israel,” ujar Zuhair.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas secara tegas menolak konsep itu dan tidak akan menerima usulan perdamaian dari AS. Para pejabat Palestina memboikot rencana perdamaian dari pemerintahan Trump sejak AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan itu menunjukkan AS tak akan pernah menjadi penengah yang adil dalam konflik Israel-Palestina.
Abbas mengatakan, solusi ekonomi untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina bukanlah hal baru.
“Uang itu penting, ekonomi penting, tapi politik lebih penting. Solusi politik lebih penting. Kami menerima semua orang yang ingin membantu kami, apakah itu di Manama (Bahrain) atau tempat lain. Tapi untuk saat ini, kami menolak 'Kesepakatan Abad Ini' (Deal of the Century/nama usulan perdamaian AS)," kata Abbas.
Sementara itu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu siap menerima konsep ekonomi AS secara adil dan terbuka.
"Kami akan mendengar rencana Amerika itu dengan adil dan terbuka. Saya tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang Palestina, bahkan sebelum mereka mendengar rencana itu, langsung menolaknya," kata Netanyahu.
"Berdasarkan perjanjian perdamaian apa pun, posisi kami adalah bahwa kehadiran Israel harus berlanjut di sini, untuk keamanan Israel dan semua," kata Netanyahu, lagi.
Israel merebut Lembah Yordan dan Dataran Tinggi Golan dalam perang Arab-Israel. Negara Yahudi itu mencaplok wilayah-wilayah tersebut, langkah yang tak pernah diakui komunitas internasional.
Lembah Yordan dan Laut Mati meliputi hampir 30 persen dari Tepi Barat. Palestina menegaskan bahwa wilayah itu merupakan satu kesatuan dari tanah yang akan menjadi negara masa depan.
Editor: Anton Suhartono