Hizbullah Ungkap 5.000 Pejuangnya Tewas tapi Siap Perang Lagi Lawan Israel
BEIRUT, iNews.id – Pemimpin Hizbullah Naim Qassem untuk pertama kali mengungkapkan jumlah korban besar yang diderita kelompoknya dalam perang melawan Israel tahun lalu. Dalam pidatonya yang disiarkan televisi Selasa (5/8/2025), Qassem mengatakan sebanyak 5.000 pejuang Hizbullah tewas dan 13.000 lainnya luka.
Meski menderita kerugian besar, Qassem menegaskan Hizbullah tetap kuat dan siap berperang lagi jika Israel melanjutkan agresinya terhadap Lebanon.
"Pertahanan ini akan menyebabkan rudal jatuh ke dalam entitas Israel, dan semua keamanan yang mereka bangun selama 8 bulan akan runtuh dalam waktu 1 jam," ujarnya mengancam, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/8/2025).
Ancaman ini disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan baru antara Israel dan Hizbullah, menyusul serangan dari pihak Israel ke wilayah Lebanon. Pidato ini juga bertepatan dengan rapat kabinet Lebanon yang membahas isu sensitif pelucutan senjata Hizbullah.
AS Dorong Pelucutan, Hizbullah Menolak
Amerika Serikat terus mendesak Lebanon untuk melucuti senjata kelompok yang didukung Iran ini. AS bahkan mengusulkan skema yang menawarkan dana rekonstruksi dan penarikan pasukan Israel dari lima titik di Lebanon selatan sebagai imbalannya.
Namun Qassem menolak seluruh gagasan tersebut, dengan menegaskan bahwa akar masalah adalah agresi Israel yang tak pernah berhenti.
"Selesaikan dulu agresi mereka, baru kita bicara soal senjata," ujarnya.
Perang Berdarah, tapi Semangat Tak Luntur
Pengakuan jumlah korban tewas dan luka dari Hizbullah ini menjadi bukti bahwa perang November 2024 silam membawa dampak besar. Perang itu juga menewaskan pemimpin legendaris Hizbullah, Hassan Nasrallah, pendahulu Qassem.
Meski begitu, Hizbullah menunjukkan sikap pantang mundur. Qassem menyebut organisasinya tetap solid, persenjataan telah dipulihkan, dan seluruh struktur komando dalam kondisi siap tempur.
Pernyataan ini jelas menjadi sinyal bagi Israel dan sekutunya bahwa ketegangan di perbatasan Lebanon bisa meledak sewaktu-waktu, jika diplomasi gagal meredakan situasi.
Editor: Anton Suhartono