Iffatul Umniati Ismail Raih Doktor Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar Kairo, Predikat Summa Cumlaude
KAIRO, iNews.id - Ulama perempuan Indonesia, Iffatul Umniati Ismail, resmi menyandang gelar doktor di bidang ilmu ushul fikih. Dia berhasil mempertahankan disertasi doktoral dengan predikat tertinggi, yakni summa cumlaude, di Universitas al-Azhar (Putri) Kairo Mesir pada Minggu (25/2/2024), bertepatan dengan 15 Sya’ban 1445 H.
Disertasnya berjudul “Ijtihad dan Fatwa dalam Merespons Isu-Isu Hukum Kontemporer: Kajian terhadap Fatwa MUI dalam Perspektif Ilmu Ushul Fikih“ setebal 690 halaman memperoleh banyak pujian. Dalam kajiannya terhadap fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Iffatul memaparkan, lembaga keagamaan itu mempunyai dua kecenderungan yang terlihat bertolak belakang dalam pendekatannya terhadap sebuah permasalahan baru. Kadang-kadang, MUI terlihat sangat hati-hati dan memberatkan dengan mengeluarkan fatwa haramnya beberapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Di sisi lain, MUI juga kadang tampak memudahkan atau menggampangkan ketika mengeluarkan fatwa dalam bidang medis dan pengobatan.
Membedakan antara 'kebutuhan' dan 'kedaruratan'
Dalil yang menjadi dasar hukum dalam fatwa MUI juga tidak lepas dari analisis kritis Iffatul. Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Ketua IV PCINU Mesir ini menegaskan, harus dibedakan antara “kebutuhan” dan “keadaan darurat” dengan merujuk kepada pandangan para ulama klasik. Ketika sebuah tindakan medis dianggap sebagai kebutuhan yang bisa diposisikan sebagai sebuah keadaan darurat, maka sebuah fatwa hanya berlaku sampai aspek kedaruratannya bisa diselesaikan. Menurut dia jangan gampang-gampang pula menyatakan sebuah kebutuhan bisa mengabsahkan perubahan hukum dari haram menjadi boleh, tanpa pertimbangan yang lebih matang dan komprehensif.
Bertindak sebagai promotor Prof Dr Suheir Rashad Mahna, guru besar ushul fikih di Fakultas Studi Islam dan Arab. Sementara co-promotornya adalah Prof Dr Turkiyah Mostafa el-Sherbini, guru besar ushul fikih Fakultas Studi Islam dan Arab.
Adapun para penguji disertasi Iffatul terdiri atas Prof Dr Mostafa Farag Fayyadh, guru besar ushul fikih di Fakultas Studi Islam dan Arab Universitas al-Azhar, serta; Prof Kafr el-Syekh dan Prof Dr Mahmoud Hamed Utsman (keduanya guru besar ushul fikih, syariah qanun, Universitas al-Azhar, Provinsi Thanta). Mereka menyatakan kekaguman, apresiasi, dan kebanggaannya atas disertasi yang telah ditulis oleh Iffatul.
"Promovendus telah menulis sebuah disertasi berkualitas tinggi yang menerapkan ilmu-ilmu klasik al-Azhar dalam konteks kemodernan; terkait bagaimana seharusnya kita menyikapi isu-isu kontemporer. Dan ini adalah disertasi yang harus dibaca secara luas!" ungkap Dr Mahmoud.
Untuk itu, dia menyarankan agar disertasi ini dibuatkan versi lain yang lebih ringan agar dapat dinikmati oleh masyarakat awam. Sementara itu, Prof Mostafa Farag Fayyadh merekomendasikan agar disertasi ini diberi catatan penting yang menjelaskan pengertian setiap terma klasik dan modern yang ada di dalamnya. Sebab, ada pembaca dari kalangan yang awam, ada juga pembaca yang menguasai istilah-istilah klasik tetapi tidak terbiasa dengan idiom-idiom kemodernan.
Dalam paparan disertasi, Iffatul yang pernah menjadi pengurus PP Fatayat NU dan LKK PBNU selama dua periode itu menyatakan, sangatlah urgen pada masa kini untuk mengarusutamakan ijtihad kolektif. Namun dengan catatan, setiap anggota lembaga ijtihad kolektif tersebut harus mempunyai kualifikasi-kualifikasi yang memadai untuk melakukan kajian hukum Islam langsung dari sumbernya. Tujuannya agar hasil ijtihad bisa menjawab permasalahan-permasalahan kekinian. "Anggota lembaga ijtihad kolektif ini tidak cukup dengan kapasitas representatifnya saja; misalnya karena mewakili satu segmen masyarakat atau organisasi tertentu," tuturnya.
Tiga kecendrungan besar
Iffatul melihat lembaga-lembaga fatwa dan ijtihad kolektif sekarang ini mempunyai tiga kecenderungan besar. Pertama adalah lembaga fatwa yang terus berpegang kepada salah satu mazhab yang dinilai mu’tabarah (absah). Sebagai contoh di sini seperti Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdlatul Ulama dan Dar al-Ifta’ Yordania. Dilihat dari tahun berdirinya, LBMNU bisa dikatakan sebagai lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang berdiri pertama di dunia.
Kedua, lembaga fatwa dan ijtihad kolektif yang tidak berpegang kepada salah satu mazhab, dan bahkan langsung mengambil hukum Islam dari sumbernya, yaitu Alquran, hadits, dan ulama salaf. Di antara model kedua ini adalah Al-Lajnah al-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Ifta’, Saudi Arabia dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Indonesia.
Ada juga model ketiga yang menggabungkan antara keduanya, seperti Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah di Mesir, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketiga lembaga ini tetap menjadikan pandangan para ulama madzhab sebagai referensi pokok dan kemudian mengelaborasikannya dengan pendalaman kajian Alquran, hadits, kaidah-kaidah fiqhiyah dan ushuliyah, juga diskursus-diskursus pemikiran baru yang cukup supaya fatwa hukum yang dikeluarkan bisa lebih kontekstual.
Fatwa harus disertai penjelasan
Menurut pengalaman Iffatul, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Tahfizh & Sains (PPUTS) Darus Salam Torjun Sampang Madura itu, pada masa sekarang tidak cukup lagi bagi seorang mufti untuk memberikan fatwa hukum tanpa menyertakan dalil-dalilnya. "Bahkan, sudah menjadi tuntutan yang lazim bahwa setiap fatwa yang dikeluarkan harus disertai dengan ulasan singkat yang menjelaskan kenapa atau bagaimana sebuah dalil bisa membawa kita kepada sebuah kesimpulan fatwa hukum," kata pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBMI) PBNU dan dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta itu.
Ulama perempuan yang aktif di beberapa jaringan aktivis advokasi perempuan, termasuk sebagai narasumber perempuan yang duduk sejajar dengan para ulama besar dunia dalam seminar internasional memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama Tahun 2023 lalu, itu melihat bahwasanya realitas kebutuhan di masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih perinci dalam beberapa aspek yang terkait dengan hukum yang difatwakan. Dengan demikian, sebuah fatwa hukum sebaiknya tidak sekedar berbicara tentang halal, haram, atau boleh dan tidak boleh saja.
Sidang disertasi Iffatul dihadiri Plt Atase Pendidikan/Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Kairo, Dr Rahmat Aming Lasim; Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, M Arif Ramadhan; dan para aktivis, peneliti serta mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar Kairo.
Editor: Ahmad Islamy Jamil