Inggris Kucurkan Rp920 Miliar untuk Akhiri Sunat Perempuan di Afrika
LONDON, iNews.id - Inggris berjanji memberi bantuan sebesar 50 juta poundsterling atau sekitar Rp920 miliar untuk menghentikan praktik mutilasi genital alias sunat perempuan (FGM) di Afrika.
Pemerintah Inggris menyatakan, hal tersebut merupakan investasi tunggal terbesar di dunia untuk membantu mengakhiri FGM pada 2030.
Tindakan FGM meliputi membuang seluruh atau sebagian alat kelamin anak gadis atau perempuan, termasuk klitoris. Beberapa orang melakukan hal itru sebagai tradisi dan ritual.
ActionAid menyambut baik pendanaan tersebut. Namun, mereka menekankan bahwa berfokus pada FGM saja tidak cukup untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan.
Paket bantuan ini akan membantu mendanai organisasi seperti proyek Saleema di Sudan, yang bertujuan menunjukkan kepada gadis-gadis bahwa mereka dapat merasa diberdayakan jika mereka tidak disunat dan berusaha mengubah sikap anggota yang lebih tua di masyarakat.
Para menteri mengatakan, uang itu juga akan memiliki efek menguntungkan di Inggris karena akan digunakan untuk membantu mengurangi risiko perempuan yang dibawa ke luar negeri untuk disunat.
FGM ilegal di Inggris sejak 1985 dan undang-undang lebih lanjut pada 2003 dan 2005 menjadikan praktek sunat di luar negeri bagi warga negara Inggris atau penduduk tetap sebagai pelanggaran.
Pemerintah menyatakan, ada sekitar 24.000 perempuan dan gadis yang beresiko FGM di Inggris.
Mengumumkan uang bantuan itu, Sekretaris Pembangunan Internasional Penny Mordaunt mengatakan FGM tidak bisa dihilangkan di Inggris tanpa mengakhirinya secara global.
"Perempuan Afrika yang inspiratif dan pemberani memimpin upaya untuk mengakhiri praktik di negara mereka sendiri, dan terima kasih kepada mereka, lebih banyak komunitas mulai meninggalkan hal itu," katanya.
"Tetapi kemajuan berada pada titik kritis dan kita harus bekerja untuk melindungi jutaan gadis yang masih berisiko disunat."
"Uang bantuan Inggris ini menjadi upaya penting sebagai dukungan yang sangat dibutuhkan untuk mengakhiri salah satu bentuk kekerasan paling ekstrem terhadap perempuan dan anak perempuan," kata Anne Quesney, penasihat hak asasi perempuan senior di ActionAid.
"Dari pekerjaan kami di sembilan negara Afrika, kami melihat bagaimana praktik yang mengancam jiwa ini tidak hanya berdampak pada kehidupan dan kesehatan perempuan, itu membatasi masa depan mereka," tambahnya.
"Banyak gadis tidak pernah kembali ke sekolah dan dipaksa menikah lebih awal, misalnya. Namun, memusatkan perhatian pada FGM saja tidak cukup. Jika kita serius ingin menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, kita sangat membutuhkan pendekatan holistik dan sumber daya yang baik untuk menangani ketidaksetaraan gender secara lebih luas."
Editor: Nathania Riris Michico