Ini Rencana Mahathir Mohamad Selanjutnya Setelah Kalah Menyakitkan di Pemilu Malaysia
SINGAPURA, iNews.id - Pemilu ke-15 Malaysia pada Sabtu pekan lalu sepertinya menjadi akhir petualangan politik bagi Mahathir Mohamad. Dia kalah dalam pemilihan anggota legislatif dari daerah pemilihan Langkawi. Ini merupakan kekalahan keduanya dalam pemilu setelah pada 1969.
Bahkan ketua Partai Pejuang Tanah Air (Pejuang) itu harus puas finis di posisi keempat dengan perolehan suara jauh di bawah batas persentase minimal yang diperlukan untuk mendapatkan kursi.
Kursi parlemen dari Langkawi jatuh ke tangan Suhaimi Abdullah dari koalisi Perikatan Nasional. Dia memperoleh 25.463 suara atau meraup 38,1 persen. Peringkat kedua diisi Armishah Siraj dari koalisi Barisan Nasional (BN) dengan perolehan 11.945 suara atau 17,9 persen. Sementara Mahathir hanya mendapat 4.566 dukungan atau 6,8 persen. Batas suara yang harus didapat kandidat adalah 12,5 persen.
Bukan hanya itu koalisi Gabungan Tanah Air (GTA) yang didirikannya pun tak mendapat satu kursi pun, tentunya termasuk Partai Pejuang.
Sebagai perbandingan, Mahathir menang telak dalam pemilu ke-14 Malaysia pada 2018 dengan memperoleh 54,9 persen kursi, mengalahkan koalisi Barisan Nasional yang merebut 29,1 persen.
Lantas apa rencana Mahathir setelah ini? Dalam posting-an di Facebook, Rabu (23/11/2022), sebagaimana dikutip dari The Straits Times, pria 97 tahun itu memang tak secara gamblang mengatakan akan pensiun dari politik.
Mahathir mengaku sedih dengan perolehannya di pemilu tahun ini, namun tetap menerima hasil tersebut karena pilihan rakyat.
Dia menegaskan semua rencana politik yang sudah disusun pasca-pemilu terpaksa dibatalkan.
Mahathir juga menyampaikan harapan, siapa saja perdana menteri yang baru bisa menyelesaikan permasalahan bangsa.
Lebih lanjut dia mengatakan akan kembali menulis tentang sejarah Malaysia. Menurut pria yang menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah Malaysia itu, banyak peristiwa di Malaysia belum terekam dalam tulisan, termasuk saat Malaysia berada dalam penjajahan Inggris.
Editor: Anton Suhartono