Jadi 1 Tim, Atlet Hoki Es Korut-Korsel Layak Mendapat Nobel Perdamaian
PYEONGCHANG, iNews.id - Anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) dari Amerika Serikat, Angela Ruggiero, berpendapat, atlet hoki es perempuan dari Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, berhak dinominaskan mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Perempuan yang pernah membawa tim hoki es perempuan AS merebut juara dunia empat kali itu mengatakan, dia akan meminta agar tim tersebut, yang di dalamnya termasuk 12 atlet Korut, dinominasikan. Alasannya, mereka menjadi simbol persatuan dua negara yang secara teknis masih berstatus perang.
Menurut dia, ini merupakan kali pertama dua Korea berkompetisi dalam satu tim di ajang olimpiade. "Saya akan senang sekali tim ini mendapat Hadiah Nobel Perdamaian," kata perempuan yang juga anggota dewan eksekutif IOC itu, dikutip dari Reuters, Minggu 11 Februari 2018.
Ruggiero menambahkan, tak mudah untuk menggabungkan dua negara menjadi satu tim. Mereka harus mengorbankan ego masing-masing terlebih dulu. Mengombinasikan dua tim sama saja siap untuk kalah atau mengorbankan kesempatan untuk mendapat medali di olimpiade. Pasalnya, mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk latihan. Namun keputusan itu tetap diambil demi mewujudkan mimpi, yakni menyatukan dua Korea.
"Sebagai seseorang yang empat kali berkompetisi di olimpiade, saya paham bahwa ini bukan tentang Anda, tim Anda, atau negara Anda, saya melihat ada kekuatan itu (dalam pertandingan)," kata dia.
Tim gabungan Korea menjalani pertandingan pertama pada Sabtu 10 Februari malam. Mereka memang kalah dari Swiss, namun berhasil memenangkan hati para penonton dengan mendapat sambutan paling meriah.
Menggabungkan tim hoki es perempuan di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang merupakan gagasan dari Korut yang kemudian diterima Korsel. Mereka hanya punya waktu latihan sekitar sepekan sebelum olimpiade.
Korsel dan Korut sebenarnya masih berstatus perang sejak pertempuran 1950-1953. Kedua negara hanya menyepakati gencatan senjata, belum meneken perjanjian damai.
Editor: Anton Suhartono