Kena Sanksi Larangan Masuk Rusia, PM Jepang Kishida: Ini Benar-Benar Tak Bisa Diterima!
TOKYO, iNews.id – Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengecam keputusan Rusia yang melarang dirinya masuk ke negeri beruang merah itu. Menurut dia, langkah Moskow tersebut tak bisa diterima.
Pada Rabu (4/5/2022) kemarin, Kementerian Luar Negeri Rusia menerbitkan daftar orang-orang Jepang yang terkena sanksi dari Moskow. Orang-orang itu dilarang memasuki Rusia.
Secara total, sanksi itu menyasar 63 warga negara Jepang, termasuk Kishida, Menteri Luar Negeri Yoshimasa Hayashi, Menteri Keuangan Shunichi Suzuki, Menteri Pertahanan Nobuo Kishi, dan Menteri Kehakiman Yoshihisa Furukawa.
“Pengumuman Rusia tentang larangan masuk ini benar-benar tidak dapat diterima. Kami ingin menanggapi dengan tepat sanksi lebih lanjut, sambil bekerja sama dengan negara-negara Kelompok Tujuh (G7) dan lainnya di komunitas internasional,” kata Kishida, seperti dikutip oleh lembaga penyiaran NHK, Kamis (5/5/2022).
Jepang telah memberlakukan beberapa paket sanksi terhadap Rusia atas operasi militer Moskow di Ukraina. Secara khusus, paket sanksi dari Tokyo itu antara lain mencakup penghapusan status Rusia dari daftar perdagangan negara yang paling disukai.
Jepang juga memberlakukan larangan ekspor sekitar 300 barang dari Rusia, termasuk semikonduktor, radar, sensor, laser dan peralatan lainnya, serta mobil dan barang mewah.
Pada saat yang sama, Tokyo juga melarang impor 38 jenis barang dari Rusia, seperti venir, serpihan kayu, mobil dan sepeda motor, bir, anggur, vodka, dan lainnya. Jepang pun telah memberikan sanksi kepada 499 individu Rusia, yang di antaranya menyasar para pejabat tinggi dan pebisnis, sembilan bank, dan lebih dari 160 organisasi.
Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari, setelah Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) meminta bantuan untuk membela diri dari provokasi pasukan Kiev. DPR dan LPR adalah dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina.
Rusia mengklaim, tujuan dari operasi khususnya adalah untuk demiliterisasi dan “denazifikasi” Ukraina.
Editor: Ahmad Islamy Jamil