Kisah Pengungsi Gaza Dijanjikan Terbang ke Indonesia, tapi Dibawa ke Afrika Selatan
ANKARA, iNews.id - Seorang warga Jalur Gaza bagian dari 153 pengungsi yang terdampar di Afrika Selatan menggunakan penerbangan carter misterius mengungkap rangkaian perjalanannya keluar dari wilayah kantong tersebut. Dia awalnya dijanjikan akan diterbangkan ke Jakarta oleh sebuah lembaga kemanusiaan yang memfasilitasi pengungsi Gaza, Al Majd Eropa.
Pria yang hanya mengidentifikasi namanya bernama Bashir itu mengatakan kepada Anadolu, dikutip Rabu (19/11/2025), awalnya dia browsing di internet bagaimana cara meninggalkan Jalur Gaza.
Pria asal Khan Younis, Gaza Selatan, mendapati sebuah organisasi bernama Al Majd Eropa yang menawarkan kesempatan untuk meninggalkan Gaza. Dia lalu menghubungi nomor telepon organisasi yang dia temukan akun Facebook. Seorang pria Palestina bernama Moayad menjawabnya dari Indonesia.
Moayad memberi tahu bahwa dia diterbangkan Al Majd Eropa dari Gaza ke Indonesia sebagai perwakilan keluarga-keluarga Palestina yang ingin meninggalkan Gaza setelah perang berkecamuk pada 7 Oktober 2023.
Bashir diberi tahu bahwa dia bisa meninggalkan Gaza ke Indonesia dengan biaya 1.400 dolar AS per kursi pesawat.
“Saya hanya punya 1.600 dolar. Saya membayar uang itu karena hidup kami di Gaza seperti neraka,” kata Bashir.
Dia diberi rekening bank milik seorang pria dari keluarga Zaqout untuk mentransfer uang tersebut. Setelah itu, Bashir menerima instruksi untuk bersiap-siap.
Pesan pertama dia terima pukul 10.00 waktu setempat, mengarahkannya untuk pergi ke suatu lokasi di Khan Younis. Pesan berikutnya datang pukul 22.00, memintanya untuk pergi ke restoran Fish-Fresh masih di Khan Younis, dekat pos Palang Merah pada pukul 03.00.
Setibanya di sana, Bashir dan penumpang lain mendapati tiga bus telah menunggu. Dia naik bus nomor 2 dan diantar ke pintu perbatasan Kerem Shalom.
Setibanya di terminal tujuan, Bashir tidak menemukan perwakilan Al Majd. Meski dia tidak melihat tentara Israel di sekitar, perjalanannya sepenuhnya di bawah kendali tentara.
Para penumpang diberi instruksi oleh perwakilan Shaheibar, sebuah perusahaan yang berbasis di Gaza, untuk melepas sepatu dan jaket. Mereka hanya diperbolehkan membawa obat-obatan.
Bashir dan penumpang lainnya diberi gelang yang harus tetap digunakan hingga mereka tiba di Bandara Ramon, Israel.
“Mereka memasukkan paspor ke dalam mesin dan mengeceknya, tapi mereka tidak memberi stempel,” tuturnya.
Bashir mengira tujuan mereka adalah Jakarta, sebagaimana diberitahukan oleh perwakilan Al Majd Eropa yang berbasis di Indonesia. Namun kemudian mereka diberitahu Otoritas Palestina menghentikan izin perjalanan ke Jakarta. Oleh karena itu penyelenggaran diam-diam mengubah tujuan mereka.
“Mereka mengubah tujuan ke Afrika Selatan dan mereka tidak memberi tahu kami,” kata Bashir.
Setelah 4,5 jam perjalanan menuju Bandara Ramon, para pengungsi Gaza naik pesawat menuju Nairobi, Kenya.
Di sana mereka transit dengan tiket yang baru, kemudian melanjutkan penerbangan ke Afrika Selatan.
“Kami memasuki Afrika Selatan tanpa masalah,” katanya.
Bashir mengatakan kelompoknya menerima detail hotel melalui WhatsApp dan menginap selama sepekan sebelum akhirnya dibantu oleh organisasi amal Gift of the Givers.
“Mereka membantu kami dengan semua yang kami butuhkan,” ujarnya.
Putrinya menyusulnya dengan penerbangan berikutnya dengan biaya 2.000 dolar AS, namun perjalanannya menghadapi situasi yang berbeda.
“Saat pesawat mendarat, polisi Afrika Selatan langsung naik ke pesawat. Mereka menginterogasi putri saya dan semua penumpang lain selama 15 jam dan ingin memulangkan mereka ke Kenya,” tuturnya.
Pihak berwenang Afrika Selatan menduga penerbangan itu merupakan bagian dari skema untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memerintahkan penyelidikan terhadap pihak yang bertanggung jawab atas penerbangan carteran tersebut.
Namun, Afrika Selatan memberikan pembebasan visa 90 hari kepada 153 warga Palestina yang berada di dalam pesawat tersebut.
Situs web Al Majd Eropa mengklaim bahwa perusahaan tersebut didirikan di Jerman pada tahun 2010 dan berkantor di Yerusalem Timur. Namun, investigasi yang dilakukan oleh harian Israel, Haaretz, menemukan bahwa organisasi tersebut sebenarnya terdaftar di Estonia dan beroperasi melalui perusahaan konsultan palsu.
Situs web tersebut sendiri tidak memiliki alamat atau nomor telepon, hanya menyediakan lokasi yakni di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Organisasi ini dijalankan oleh Tomer Janar Lind, yang memiliki kewarganegaraan ganda Israel-Estonia. Menurut Haaretz, Lind bekerja sama dengan unit militer Israel Cogat yang bertugas memindahkan paksa warga Palestina dari Gaza dan memfasilitasi beberapa penerbangan bagi pengungsi.
Bashir menjelaskan, perjalanan rahasianya dari Gaza ke Afrika Selatan sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup, bukan menetap di luar negeri.
"Kami tidak menandatangani surat apa pun, atau surat 'tidak boleh kembali', tidak sama sekali," katanya.
"Jika seseorang menelepon saya dan bertanya, 'Apakah Anda ingin keluar?' Saya akan jawab, iya. Orang-orang di Gaza mengatakan ingin keluar dari penderitaan, genosida, dan neraka," ujarnya, lagi.
Tentara Israel telah mengubah seluruh Jalur Gaza menjadi puing-puing.
"Rafah telah disapu bersih sepenuhnya. Tidak ada satu rumah pun yang tersisa. Semuanya hancur di Khan Younis, Rafah, dan Gaza," kenangnya.
Editor: Anton Suhartono