Kisah Perjuangan Anak Petani Indonesia Lulusan S2 Kampus Ternama di AS
WASHINGTON, iNews.id - Kisah perjuangan seorang anak dari keluarga petani asal Tanjung Beringin di Sumatera Utara untuk meraih pendidikan S2 di universitas bergengsi di Amerika Serikat (AS) merupakan sebuah bukti pencapaian sebuah impian.
Robinson Sinurat, yang akrab dipanggil Obin, berhasil lulus dari universitas prestisius, Columbia University di New York.
“Be honest. Be brave. Be willing,” itulah moto hidup yang selalu dia tanamkan.
Perjuangan gigih Obin untuk meraih pendidikan pun tidak lepas dari semangat orangtuanya yang adalah petani kopi dan sayur. Sejak kecil, Obin yang adalah anak ke-5 dari tujuh bersaudara terpaksa tinggal berjauhan dari orangtua di Kota Medan, demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik
Selama bersekolah, Obin yang punya keinginan untuk bisa masuk ke sekolah bonafit seperti sekolah swasta berfasilitas lengkap, mengaku selalu terkendala masalah keuangan, mengingat orangtuanya sudah kehabisan biaya setelah menyekolahkan kakak-kakaknya.
Namun, dia percaya bahwa rezeki masing-masing pasti berbeda.
“Ketika di giliran aku mau masuk ke sekolah, contohnya mau masuk SMP, mau masuk SMA, selalu terkendala dengan keuangan. Jadi mereka selalu bilang coba ke negeri dulu aja, kalau masuk negeri keuangan kita bisa mencukupi,” papar Obin, kepada VOA.
Selagi duduk di bangku SMP di Medan, dia juga sempat tinggal bersama dan mengurus adik-adiknya yang masih SD. Belajar, memasak, dan mencuci baju menjadi tugas hariannya, hingga akhirnya orangtua Obin memutuskan untuk memindahkan adik-adiknya ke tempat kakaknya di pulau Jawa.
Mengikuti pesan Bapak dan Mamak, begitulah Obin memanggil orangtuanya, dia selalu semangat untuk belajar hingga menjadi juara. Saat duduk di kelas 3 SMA, orangtuannya berpesan kepadanya.
“Kalo kamu tidak masuk negeri kuliahnya, kita enggak sanggup biayain. Jadi kamu harus masuk negeri. Kalau tidak ya belajar lagi setahun lagi,” kenangnya.
Pesan itu menjadi semangat baru baginya untuk berjuang masuk ke universitas negeri. Dia mengikuti ujian SMBPTN dan mendaftar ke Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Universitas Sriwijaya, Palembang.
Robinson Sinurat saat wisuda S2 di Universitas Columbia, New York. (Foto: doc. instagram Robinson Sinurat)
Awalnya, dia mengira akan berakhir kuliah di Bandung. Namun, akhirnya dia diterima di Universitas Sriwijaya di Palembang, jurusan Fisika, jurusan yang bukan dia inginkan.
“Menurut aku pribadi bukan masalah apa pun jurusannya, tapi pola pikirnya, mindset kita itu bagaimana ketika kita kuliah, jauh dari orangtua juga. Jadi oke diambil sajalah, yang pasti masuk perguruan tinggi negeri, orangtua sanggup membayar,” kata pria kelahiran 1990 ini.
Namun, saat sudah diterima, Obin kembali dihadapi kendala biaya. Orangtuanya mengatakan tidak ada biaya dan menganjurkannya untuk mencoba lagi tahun depan. Mengingat banyak anak-anak Indonesia yang bercita-cita masuk ke perguruan tinggi negeri tetapi tidak lolos, Obin menganggap ini merupakan kesempatan berhagara baginya.
Dia pun memutuskan untuk meminjam uang tiga juta rupiah ke teman dekatnya, untuk membayar uang pendaftaran sekitar 2,4 juta rupiah dan tiket naik bis dari Bandung ke Palembang.
Awal Baru di Kampus Sriwijaya
Setibanya di kampus Universitas Sriwijaya, dia harus memikirkan cara untuk membayar uang kos dengan sisa uangnya yang tinggal sekitar 250 ribu rupiah. Siapa yang menyangka ketika menemani temannya mencari rumah kos, dia lalu ditawari untuk tinggal bersama salah seorang penjaga kos yang mereka datangi.
“Kalau memang kamu mau, kamu tinggal sama saya aja, tapi ya namanya juga kamar penjaga kos-an ya, enggak ada apa-apa, dan sempit. Nanti kamu bayarnya terserah aja berapa dan kapan. Kalau kamu ada uang aja dibayar, tapi kalau uang listrik bayarlah ya, maksudnya paling cuman 10 atau 20 puluh ribu per bulan gitu,” katanya.
Satu masalah selesai, dia lalu harus memikirkan uang untuk membayar buku praktikum dan biaya hidup, khususnya untuk makan. Untuk menyiasati hal ini, Obin membuat strategi hanya makan satu kali sehari di kantin kampus di waktu sore hari, agar bisa mengganjal rasa lapar hingga keesokan harinya.
Untuk sepiring nasi dengan lauknya, Obin harus membayar sekitar 6-7 ribu rupiah.
“Jadi dulu itu strateginya adalah aku beli nasi banyak, sepiring gede terus pakai sayur, pakai ikan atau daging apa gitu bayarnya kan cuman itu doang,” jelasnya.
Untuk mengatasi rasa lapar yang biasa melanda di tengah malam, Obin menyimpan biskuit kelapa di kamarnya.
“Aku ambil 1-3 biji, makan, sambil nangis,” kenangnya.
“Aku tidak pernah kasih tahu (orangtua), kalau aku itu nggak makan. Tapi kalau yang bahagia-bahagianya aku kasih tahu. Karena kalau menurut aku, kalaupun aku kasih tahu aku susah segala macam, toh memang kalo mereka tidak ada (biaya) ya mau gimana, kan?” lanjutnya.
Agar bisa meneruskan kuliah, Obin lalu dianjurkan oleh dosen pembimbing dan dekan untuk mendaftar beasiswa dari PPA (Peningkatan Prestasi Akdemik) dan BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa). Nilainya yang selalu bagus sejak SMA serta doa orangtua membuahkan beasiswa di semester dua hingga lulus.
Untuk bertahan hidup, dia pun mencari peruntungan kerja dengan mengajar fisika di sekolah bimbingan belajar di pusat Kota Palembang yang berjarak sekitar satu jam dari kampusnya.
Pernah satu kali dia mengirimkan batik untuk orangtuanya dari hasil kerjanya.
“Mereka terharu dong,” ujar pria yang hobi jogging dan berenang ini.
Terjun ke Bidang Sosial di Palembang
Minat Obin di bidang sosial tumbuh saat tinggal di Palembang. Obin yang supel dikenal sangat aktif berorganisasi. Dia tergabung di Youth Interfaith Community, American Association of Petroleum Geologist, menjadi ketua perkumpulan warga Batak, dan mendirikan organisasi kampus, Himpunan Mahasiswa Geofisika.
Setelah lulus, dia pindah ke Jakarta untuk menerima tawaran kerja sebagai koordinator program di bidang kepemudaan di Global Peace Foundation. Setelah itu, di Jakarta dia juga pernah bekerja di kementerian PU (Pekerjaan Umum) sebagai seorang konsultan.
Kerap kali dia mengikuti konferensi-konferensi baik di tingkat nasional maupun internasional yang pernah membawanya hingga ke Malaysia.
Mengejar Impian Hingga ke Negeri Paman Sam
Obin lalu memiliki cita-cita yang baru, yaitu pergi ke AS untuk menempuh pendidikan. Setelah empat kali mencoba mendaftar beasiswa untuk program Young Southeast Asian Leaders Initiative dari Pemerintah AS, dia lalu berhasil memperolehnya.
Selama lima pekan, dia digodok di University of Nebraska di Kota Omaha, untuk belajar mengenai pengembangan keterlibatan warga (Civic Engagement) dan kepemimpinan.
“Yang pertama itu sih aku merasa bangga, karena aku pola pikirnya berubah, lebih baik, terus leadership skils-nya juga, dan public speaking juga, karena harus ngomong di depan teman-teman dan yang paling pentingnya lagi adalah aku harus practice bahasa inggris setiap hari sama teman-teman yang lain,” cerita Obin yang pernah bertemu dengan mantan Presiden AS Barack Obama, saat mengikuti konferensi di Malaysia.
Pada 2015, Obin kemudian terpilih untuk mengikuti program dari Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI) untuk pergi ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Dari 45 ribu orang yang mendaftar hanya 33 yang terpilih, termasuk dirinya.
Kunjungannya ke Ende kemudian mendatangkan gagasan untuk membuat perpustakaan untuk anak-anak SD, SMP, dan SMA.
Sesuai dengan rencananya, tak lama kemudian Obin memutuskan untuk mendaftar beasiswa untuk studi S2.
“Karena aku dulu waktu pertama kerja aku udah membuat semacam goal satu target, dalam waktu dua tahun aku mau lanjut lagi s2 di bidang sosial, karena pekerjaan aku selama ini sosial tapi karena background aku itu fisika kadang orang merasa kalau aku prakteknya udah banyak, cuman di teori tidak ada. Nggak ada degree-nya di teorinya,” jelas Obin yang juga pernah bekerja untuk organisasi nirlaba American Voices di Indonesia dan mengikuti program Rumah Perubahan Rhenald Kasali.
Melalui beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Pendidikan), Obin berhasil diterima di berbagai universitas di Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Inggris.
"(Mamak) kalau tidak salah lagi metik cabe, terus katanya dia langsung kayak berlutut gitu, ucapan syukur gitu lho. Di deket pohon cabe,” kenangnya, sambil tertawa.
“Terus dia nangislah, dia bilang ‘selamat ya nak’,” lanjutnya.
Dari seluruh universitas yang menerimanya, Obin memutuskan untuk memilih Columbia University, sebuah universitas prestisius atau Ivy League di New York. Jurusan 'social work' (pekerjaan sosial) menjadi pilihannya.
“Yang lucunya aku cerita ke orangtua, ke Bapak sama Mamak kan, aku lolos Columbia university di Amerika. Terus kata mereka, bukannya di ucapin selamat, ini enggak. ‘Loh kenapa ke Amerika lagi? Bukannya kemaren mau ke Inggris?” ujarnya lagi sambil tertawa.
Perjuangan Kuliah di AS
Sesampainya di AS dan memulai kuliah pada 2016, Obin mendapat tantangan baru. Bacaan yang banyak dan tugas yang menumpuk sempat membuatnya patah semangat dan ‘badan kurus kerempeng.’
Namun, dengan kemampuan bahasa Inggris yang menurutnya masih menjadi kendala, dia tetap berusaha untuk beradaptasi dengan kehidupan kampus AS. Kali ini strateginya adalah mempersiapkan diri dan berpartisipasi di dalam kelas.
“Aku udah targetin, setiap mata kuliah itu aku at least nanya satu atau jawab 1. Kalau memang bisa lebih lebih bagus, tapi at least 1,” jawabnya.
Menurutnya dosen di AS sudah seperti teman sendiri. Jika ada pertanyaan, boleh langsung mengirim e-mail atau datang ke kantornya di saat jam kerja.
Seperti saat kuliah di Universitas Sriwijiaya dulu, Obin kembali aktif di kampus. Dia menjadi salah satu tim pemasaran untuk PERMIAS (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dan mendirikan International Student Caucus di kampus bersama teman-temannya.
Cita-cita Obin untuk lulus S2 pun tercapai pada 2018. Impian lainnya? Mendatangkan Bapak dan Mamak ke Amerika, dengan hasil tabungannya selama ini.
“Akhirnya tercapailah mimpi aku itu. Aku bilang harus berdua, karena waktu S1 kan hanya Mamak (yang datang). Jadi kalau kali ini harus berdua,” paparnya.
Kehidupan Setelah Lulus S2
Lulus dari Columbia University, Obin kini bekerja di lembaga nirlaba, Queens Community House di New York, sebagai Counseling Specialist.
Pencapaian Obin selama ini kembali lagi kepada pedoman hidupnya, yakni “Be honest. Be brave. Be willing” (Jujur. Berani. Mau berjuang).
“Kita harus jujur sama diri kita sendiri, let’s say kalau ada sesuatu yang memang kita tidak sanggup, ya bilang tidak sanggup. Dan kita jujur sama diri kita sendiri. Kita itu orangnya bagaimana? Karena jujur sama diri sendiri itu penting. Ketika kita jujur dengan diri kita sendiri, kita tahu apa yang harus kita lakukan. Kemudian kita harus berani. Berani untuk melangkah. Untuk take risk. Jadi harus ada yang dikorbankan,” ujarnya.
Tak lupa menurut Obin, yang juga tak kalah penting adalah kemauan untuk berjuang dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
“Jadi aku sih berharapnya gitu. Makanya aku bikin itu jadi motto aku sendiri. Be honest. Be brave. Be willing,” pungkasnya.
Editor: Nathania Riris Michico