Korupsi, Hukuman Presiden Wanita Pertama Korsel Ditambah Jadi 32 Tahun
SEOUL, iNews.id - Mantan Presiden Korea Selatan (Korsel) Park Geun Hye kembali divonis hukuman penjara di Pengadilan Distrik Pusat Seoul. Dia mendapat tambahan hukuman delapan tahun lagi dari dua dakwaan, Jumat (20/7/2018). Pada April lalu dia sudah divonis hukuman penjara 24 tahun.
Presiden perempuan pertama Korsel itu dimakzulkan pada tahun lalu setelah demonstrasi besar-besaran warga Korsel memprotes skandal korupsi yang membelitnya.
Pada April, dia divonis penjara 24 tahun atas dakwaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Untuk kasus terbaru ini, dia didakwa dengan dua kasus, yakni menerima uang dari Badan Intelijen Nasional (NIS) dan mengintervensi pemilu legislatif 2016.
Hakim memvonis hukuman enam tahun penjara untuk kasus gratifikasi sebesar 3,3 miliar won atau sekitar Rp42,4 miliar dari kepala NIS serta dua tahun karena mengintervensi pemilu parlemen yang menguntungkan kandidat dari partai berkuasa.
Terungkap pula dalam pengadilan, tiga mantan kepala NIS bersaksi mereka telah menyalurkan dana ke Park atas perintahnya.
"Terdakwa menerima sekitar 3 miliar won selama tiga tahun dari tiga kepala NIS. Melalui kejahatan ini, negara mengalami kerugian besar," kata hakim senior Seong Chang Ho, dikutip dari AFP.
Park pertama kali divonis bersalah oleh pengadilan pada 6 April dan dihukum penjara 24 tahun. Dia dinyatakan bersalah terkait praktik suap, pemaksaan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tak cuma dibui, dia juga diperintahkan membayar denda sebesar 18 miliar won atau sekitar Rp233 miliar.
Putri dari diktator Park Chung Hee ini terpilih menjadi presiden pada 2013 sebagai ikon konservatif. Namun usia pemerintahannya tak sampai empat tahun. Dia dimakzulkan dan kekuasaannya dilucuti melalui gerakan people power selama berbulan-bulan. Jutaaan warga turun ke jalan di Seoul dan kota-kota lain di Negeri Gingseng itu.
Pemicunya adalah skandal korupsi yang menimbulkan efek bola salju, yakni persekongkolan antara Park dan pengusaha yang juga teman lamanya, Choi Soon Sil. Dia dituduh menerima suap dari para petinggi perusahaan temannya itu sebagai imbalan atas beberapa kebijakan.
Kemarahan publik tertuju pada hubungan Park dengan Choi. Dia bahkan membiarkan Choi yang tidak memegang jabatan formal di pemerintahan untuk ikut campur dalam urusan negara, bahkan ikut mengedit isi pidato kepresidenan.
Editor: Anton Suhartono