Lapor Diperkosa Kepala Sekolah, Siswi Bangladesh Dibakar Hidup-Hidup
DHAKA, iNews.id - Nusrat Jahan Rafi, seorang gadis Bangladesh, disiram minyak tanah dan dibakar di sekolahnya. Sekitar dua pekan sebelumnya, dia membuat pengaduan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya.
Dia dibakar setelah menolak mencabut tuduhan bahwa kepala sekolah telah memerkosa dirinya. Nusrat Jahan Rafi dibakar hidup-hidup di atap sekolah. Dia meninggal pada 10 April 2019, lima hari setelah serangan terjadi.
Serangan mengerikan itu direkam dan videonya viral di media sosial. Video itulah yang memicu kemarahan secara meluas.
Nusrat menderita luka bakar hingga 80 persen di tubuhnya. Polisi menangkap 15 orang, tujuh di antaranya dituduh terlibat langsung dalam serangan itu.
Dari 15 orang yang ditahan, dua di antaranya dua pelajar pria.
Keberanian Nusrat dalam mengungkap pelecehan seksual, kematiannya lima hari sesudah dibakar, serta segala hal yang terjadi di antara peristiwa-peristiwa itu, mengguncang Bangladesh.
Nusrat (19) berasal dari Feni, sebuah kota kecil 160 kilometer dari ibukota Dhaka. Dia belajar di madrasah atau sekolah Islam di Bangladesh. Pada 27 Maret, dia menyatakan kepala sekolah memanggilnya ke kantornya dan berulang kali menyentuhnya dengan cara tak pantas.
Sebelum keadaan menjadi lebih buruk, dia pun kabur dari ruang itu.
Banyak perempuan muda di Bangladesh memilih untuk menyimpan dalam-dalam pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami karena takut semakin dipermalukan oleh keluarga atau masyarakat mereka.
Yang membedakan dengan Nusrat Jahan adalah dia tidak hanya bicara, tapi dia juga melaporkan pelecehan seksual itu ke polisi dengan bantuan keluarganya pada hari ketika pelecehan seksual yang dituduhkan itu terjadi.
Di kantor polisi setempat, dia memberi pernyataan. Nusrat membuat rekaman video pengakuan yang diserahkan kepada polisi setempat. Dalam video itu, Nusrat mengatakan bahwa pada 27 Maret 2019 kepala sekolah memanggil dirinya agar datang ke kantornya.
Dia mengidentifikasi kepala sekolah bernama Siraj-ud-Daula. Menurut pengakuan Nusrat, kepala sekolah mulai "menyentuhnya" dengan tidak tepat.
Dia mengaku berhasil melarikan diri dari sekolah sebelum pergi ke kantor polisi pada hari yang sama untuk melaporkan apa yang dia sebut sebagai kejahatan.
Dalam rekaman video itu, terlihat jelas Nusrat merasa tertekan dan mencoba menyembunyikan wajahnya dengan tangan. Polisi yang menerima pengaduannya terdengar mengatakan "tak apa-apa" dan meminta Nusrat menyingkirkan tangan dari wajahnya. Belakangan, rekaman video itu bocor ke media setempat.
Nusrat Jahan Rafi berasal dari kota kecil, datang dari sebuah keluarga yang konservatif, serta belajar di sekolah agama. Bagi seorang perempuan dalam posisinya, melaporkan pelecehan seksual bisa mendapat konsekuensi berat.
Korban kerap menerima penghakiman dari komunitasnya, pelecehan -secara langsung maupun daring- dan dalam beberapa kasus, serangan fisik dengan kekerasan. Nusrat mengalami semua pengalaman tersebut.
Pada 27 Maret, sesudah dia melapor, polisi menangkap sang kepala sekolah. Namun persoalannya memburuk bagi Nusrat. Sekelompok orang berkumpul di jalan menuntut pembebasan si kepala sekolah.
Protes ini diatur oleh dua orang murid laki-laki. Politisi setempat diduga ikut hadir di sana. Orang-orang mulai menyalahkan Nusrat. Keluarganya mulai merasa khawatir akan keselamatannya.
Tak urung, pada 6 April, atau 11 hari sesudah pelecehan seksual terhadapnya, Nusrat datang ke sekolah untuk menghadiri ujian akhir.
"Saya mencoba membawa saudari saya itu ke sekolah dan masuk ke dalam, tapi saya dihentikan dan tak diperbolehkan masuk," kata saudara Nusrat, Mahmudul Hasan Noman.
"Kalau saya tak dihentikan, hal seperti itu tak akan terjadi pada saudari saya itu," katanya.
Menurut sebuah pernyataan yang diberikan oleh Nusrat, seorang teman perempuannya di sekolah membawanya ke atap sekolah sambil berkata seorang temannya dipukuli. Ketika Nusrat tiba di atap, empat atau lima orang -memakai burqa- mengelilinginya dan diduga mendesaknya untuk menarik tuduhannya kepada si kepala sekolah.
Ketika Nusrat menolak, mereka membakarnya.
Kepala penyelidik kepolisian Banaj Kumar Majumder mengatakan para pelaku ingin agar pembunuhan "itu terlihat seperti bunuh diri".
Rencana itu gagal ketika Nusrat berhasil diselamatkan ketika mereka meninggalkan tempat kejadian. Nusrat mampu memberi pernyataan sebelum meninggal dunia.
"Salah satu pembunuh itu menekan kepalanya dengan tangannya, dan minyak tanah tidak disiramkan ke kepala, maka kepalanya tak terbakar," kata Majumder, kepada BBC Bengali.
Namun ketika Nusrat dibawa ke rumah sakit setempat, dokter menemukan luka bakar menutupi 80 persen tubuhnya. Karena tak sanggup menangani luka tersebut, mereka mengirim Nusrat ke Dhaka Medical College Hospital.
Di dalam ambulans, karena khawatir tak akan selamat, Nusrat merekam pernyataan di telepon genggam saudaranya.
"Si kepala sekolah itu menyentuh saya. Saya akan melawan kejahatan ini hingga napas saya yang terakhir," begitu bunyi rekamannya.
Dia juga mengidentifikasi beberapa penyerangnya sebagai para pelajar di sekolahnya.
Berita tentang Nusrat mendominasi pemberitaan media di Bangladesh. Pada 10 April, dia meninggal dunia. Ribuan orang datang ke pemakamannya di Feni.
Sejak itu, polisi menahan 15 orang, tujuh di antaranya dituduh terlibat dengan pembunuhan. Di antara mereka yang ditangkap, terdapat dua orang pelajar yang mengorganisir protes mendukung si kepala sekolah.
Sang kepala sekolah sendiri masih di dalam tahanan. Polisi yang memfilmkan pengaduan pelecehan seksual Nusrat dipindahkan dari jabatannya dan dialihkan ke departemen lain.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina telah bertemu keluarga Nusrat di Dhaka dan berjanji setiap orang yang terlibat di dalam pembunuhan itu akan diadili.
"Tak ada pelaku yang akan terbebas dari tindakan hukum," kata Sheikh Hasina.
Kematian Nusrat memicu protes dan ribuan orang menggunakan media sosial untuk menyatakan kemarahan mereka, baik terhadap kasus itu maupun pada perlakuan terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual di Bangladesh.
Editor: Nathania Riris Michico