Mantan PM Inggris Tony Blair Akan Pimpin Pemerintahan Transisi Gaza?
LONDON, iNews.id - Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair bakal ditunjuk menjadi pemimpin sementara pemerintahan Jalur Gaza setelah perang. Kepemimpinan Blair didukung oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, PBB, serta para pemimpin negara Teluk.
Jika terealisasi, Blair akan memimpin badan yang diberi nama Otoritas Transisi Internasional Gaza (GITA). Lembaga ini akan diupayakan mendapat mandat PBB untuk menjadi otoritas politik dan hukum tertinggi Gaza untuk periode 5 tahun.
Dikutip dari BBC, Sabtu (27/9/2025), Blair telah terlibat dalam diskusi mengenai kepemimpinan Gaza di masa transisi pascaperang. Dia akan memimpin Gaza sebelum menyerahkannya kembali ke Pelestina setelah pemerintahan baru, yang tidak melibatkan Hamas di dalamnya, terbentuk.
GITA akan mirip dengan pemerintahan internasional yang mengawasi transisi Timor Timur dan Kosovo sampai mendapat status negara merdeka.
Awalnya, pemerintahan transisi ini akan berpusat di Mesir, dekat perbatasan Gaza. Sebelum akhirnya memasuki Gaza setelah Jalur Gaza stabil, di bawah pengamanan pasukan multinasional.
Mantan kepala pemerintahan Inggris yang melibatkan negaranya dalam Perang Irak pada 2003 itu terlibat dalam pembicaraan tingkat tinggi membahas masa depan Gaza yang juga melibatkan AS serta pihak lain.
Blair dilaporkan menentang keras proposal apa pun yang mengusir warga Gaza dari wilayah mereka.
Pada Agustus, Blair ikut serta dalam pertemuan dengan Trump di Gedung Putih untuk membahas masa depan Gaza. Utusan khusus Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyebut pembahasan dalam pertemuan itu sangat komprehensif, meski hanya sedikit hasilnya yang diungkap ke publik.
Laporan mengenai penunjukan Blair dalam otoritas pemerintah transisi Gaza muncul setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan pada Kamis lalu, pihaknya siap bekerja sama dengan Trump dan para pemimpin dunia untuk mengimplementasikan rencana sokusi dua negara.
Abbas menegaskan penolakannya terhadap peran Hamas di Gaza serta menuntut pelucutan senjatanya.
Sejak konflik Hamas-Israel pada 7 Oktober 2023, berbagai proposal yang mengatur masa depan Gaza diajukan oleh banyak pihak.
Pada Februari, Donald Trump melontarkan rencana kontroversial yang merelokasi paksa warga Gaza ke negara lain. Amerika akan mengubah wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah". Rencana itu batal setelah ditolak mentah-mentah oleh negara Arab dan Muslim karena melanggar hukum internasional.
Pada Maret, AS dan Israel menolak rencana rekonstruksi Gaza pascaperang yang diusulkan negara-negara Arab. Pemerintah Otoritas Palestina dan Hamas menyambut baik rencana tersebut. Isinya menyerukan agar Gaza diperintah sementara oleh komite ahli independen serta pelibatan pasukan penjaga perdamaian internasional.
Kemudian pada Juli, konferensi internasional yang digagas Prancis dan Arab Saudi di New York, AS, menghasilkan Deklarasi New York. Salah satu hasilnya adalah pembentukan komite pemerintahan transisi untuk Gaza. Komite itu akan beroperasi di bawah payung Pemerintah Otoritas Palestina.
Dalam pemungutan suara pada awal bulan ini, resolusi untuk mengadopsi Deklarasi New York didukung oleh 142 negara anggota Majelis Umum PBB.
Editor: Reza Fajri