Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Mengungkap Perjalanan Kisah Cinta Presiden Vladmir Putin
Advertisement . Scroll to see content

Memahami Konsep National Interest dalam Agresi Militer Rusia di Ukraina

Selasa, 13 Desember 2022 - 12:04:00 WIB
Memahami Konsep National Interest dalam Agresi Militer Rusia di Ukraina
Ahmad Islamy Jamil. (Foto: Istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

Ahmad Islamy Jamil
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

PADA 24 Februari 2022, Rusia mulai melancarkan agresi militernya ke Ukraina. Pasukan Moskow menyerang negeri tetangganya itu lewat darat, laut, dan udara. Sebanyak 190.000 tentara pun dikerahkan. Oleh sebagian kalangan, serangan itu disebut-sebut sebagai yang terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II. Tindakan Moskow itu menuai reaksi dan kecaman dari kalangan internasional, terutama dunia Barat. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara sekutunya berlomba-lomba menjatuhkan berbagai paket sanksi terhadap Rusia atas tindakan militernya tersebut.

Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut agresi militer negaranya ke Ukraina sebagai “operasi khusus”. Menurut dia, operasi itu sebagai respons atas permintaan dari Republik Rakyat Luhansk (LPR) dan Republik Rakyat Donetsk (DPR) yang menginginkan bantuan Moskow untuk melawan militer Ukraina yang kian agresif terhadap penduduk Donbas. LPR dan DPR adalah dua entitas politik di Donbas yang memproklamasikan diri sebagai negara merdeka di Ukraina.

Putin beralasan, operasi militer tersebut bertujuan untuk melindungi warga Donbas, termasuk warga etnik Rusia yang sudah bertahun-tahun menjadi target  “genosida” di Ukraina. Namun, klaim Putin itu dianggap Barat sebagai propaganda yang mengada-ada dan tidak masuk akal. Amerika Serikat dan sekutunya lebih suka menyebut agresi militer Rusia sebagai “invasi”, alih-alih “operasi khusus” yang kerap dipakai Putin sebagai pembenaran atas tindakan negaranya di Ukraina.

Sampai hari ini, konflik Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda, apalagi berakhir. Sementara itu, dampak dari perang tersebut tidak hanya dirasakan oleh kedua belah pihak yang bertikai, melainkan juga berimbas ke negara-negara lain. Harga bahan bakar melonjak di seluruh dunia, yang di antaranya sebagai akibat dari sanksi internasional terhadap produsen minyak Rusia pascaagresi ke Ukraina, di samping naiknya permintaan dan tekanan pada kapasitas penyulingan. Tak hanya itu, krisis pangan global kian mencengkeram negara-negara miskin, karena tersendatnya pasokan biji-bijian dari Rusia dan Ukraina, di mana kedua negara bekas Uni Soviet itu masuk dalam daftar eksportir gandum terbesar di dunia.

Agresi militer Rusia di Ukraina—yang berlangsung hampir sepanjang tahun ini—tidak muncul begitu saja. Ia sejatinya merupakan kelanjutan dari konflik yang mendera kedua negara pada 2014, ketika Rusia menganeksasi Semenanjung Krimea dari Ukraina. Sejak itu, ketegangan yang diselingi dengan kontak senjata berlangsung secara sporadis di wilayah Donbas, yang sebagian dikuasai oleh kelompok separatis pro-Rusia. Hingga Desember 2021, konflik di Donbas telah menyebabkan jatuhnya 14.200-14.400 korban jiwa dari kalangan rakyat sipil dan militer.

Kini, setelah Rusia melancarkan operasi militernya di Ukraina 10 bulan lalu, jumlah nyawa yang melayang pun bertambah. Menurut data yang dihimpun Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dari 24 Februari hingga 5 Desember 2022, terdapat 17.181 warga sipil yang menjadi korban perang tersebut di Ukraina. Perinciannya, 6.702 orang meninggal dunia, sedangkan sebanyak 10.479 lainnya luka-luka. 

Dalam beberapa kesempatan, Rusia dan beberapa negara pendukungnya menggunakan dalih agresi militer di Ukraina sebagai bentuk upaya Moskow membela national interest alias kepentingan nasionalnya. Ini sejalan dengan perspektif state-centered atau teori statis, di mana negara dipandang sebagai pusat kekuasaan. Negara adalah kekuatan yang memiliki kemauan sendiri. Karenanya, ketika terjadi perang atau pengerahan militer ke negara lain, si negara agresor menganggap langkah itu demi melindungi kepentingan nasionalnya. 

Pertanyaannya, national interest apa sesungguhnya yang sedang dikejar Rusia dalam krisis Ukraina? Setidaknya ada dua aspek yang dapat dipakai untuk menganalisis hal ini, yaitu aspek keamanan nasional dan aspek konservatisme budaya. Mengenai aspek yang pertama, beberapa analis militer melihat perang yang sedang berlangsung di Ukraina sejatinya bukan antara Moskow dan Kiev, melainkan antara Rusia dan Barat—yang dalam hal ini diwakili oleh NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Menurut pandangan ini, Ukraina hanya menjadi arena pertempuran dua kekuatan besar itu.

Asumsi tersebut juga diamini oleh Putin dan para petinggi Rusia. Jauh sebelum agresi dimulai, Moskow sudah berulang kali mengingatkan NATO untuk tidak memperluas pengaruhnya di Ukraina. Namun, peringatan Rusia tersebut tidak pernah digubris aliansi militer itu. Selama ini, Ukraina telah menjadi semacam buffer zone atau wilayah penyangga antara Rusia dan NATO. Karenanya, Putin menilai kehadiran NATO di wilayah itu dapat mengancam kedaulatan Rusia. Apalagi jika ditelusuri kembali sejarahnya, tujuan awal didirikannya aliansi itu memang untuk melawan Uni Soviet. Sementara, representasi dari Uni Soviet hari ini adalah Rusia. 

Sebelum pembubaran Uni Soviet pada 26 November 1991, Pakta Warsawa sebagai aliansi pertahanan yang membentuk Blok Timur sudah lebih dulu dibubarkan. Peristiwa itu pun dianggap sebagai tanda berakhirnya era Perang Dingin, di samping runtuhnya Tembok Berlin. Sayangnya, pembubaran Pakta Warsawa pada waktu itu tidak diikuti dengan pembubaran NATO di pihak Barat. Tak hanya mempertahankan eksistensinya, aliansi militer pimpinan Amerika Serikat itu bahkan terus melakukan ekspansi di Eropa Timur, semakin mendekati Rusia. Sifat NATO yang tadinya defensif pun berubah menjadi lebih ofensif. AS dan sekutu Baratnya juga semakin memperlihatkan kecenderungan mereka untuk membangun tatanan dunia yang unipolar.

Berikutnya, terkait aspek yang kedua, yaitu konservatisme budaya, Moskow menganggap meluasnya pengaruh ideologi dan cara hidup Barat di Ukraina dapat mengancam eksistensi Rusia sebagai salah satu entitas budaya yang dominan di Eropa Timur. Pandangan tersebut dikonfirmasi lewat berbagai produk legislasi dan undang-undang yang digulirkan Duma Negara atau DPR Rusia, akhir-akhir ini. Sebut saja RUU Perlindungan Bahasa Rusia yang diumumkan pada Oktober lalu. Sesuai namanya, RUU itu dirancang untuk melindungi Bahasa Rusia dari serbuan kosa kata asing. Selain itu, ada juga UU Antipropaganda LGBT yang memberikan hukuman berat kepada para pelaku LGBT dan orang-orang yang mengampanyekan perilaku penyimpangan seksual itu. Bagi Putin, LGBT menjadi ancaman sendiri bagi kelangsungan hidup bangsa Rusia. Bahkan, dalam sebuah pidato pada akhir September lalu, dia dengan lantang menyatakan bahwa jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima di Rusia.

Dalam konteks ini, Rusia kembali menunjukkan sikap yang konfrontatif terhadap Barat—yang dengan nilai-nilai liberalnya tidak sekadar mengakui, tetapi bahkan mendukung LGBT. Di balik sikapnya ini, Moskow sebenarnya punya argumen rasional sebagai landasan kebijakan untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Seperti diketahui, populasi laki-laki di Rusia saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan perempuannya. Berdasarkan data PBB pada 2022, rasio penduduk laki-laki dan perempuan di negara itu adalah 86:100. Sementara natalitas atau tingkat kelahiran di negara itu sebesar 11,6 per 1.000 penduduk, lebih rendah dari mortalitas atau tingkat kematiannya yang 13,1 per 1.000 penduduk. Kekurangan pria di Rusia antara lain disebabkan banyaknya tentara mereka yang gugur selama Perang Dunia II.

Berkaca dari data di atas, dapat diduga kepentingan apa yang hendak dicapai Rusia di balik kebijakan anti-LGBT-nya, yaitu demi mempertahankan populasi, terutama kaum laki-lakinya yang sewaktu-waktu harus siap dikerahkan untuk bertempur—seperti dekret Putin soal mobilisasi parsial pada 21 September lalu. Dengan menangkal perilaku LGBT, negara tidak saja mengambil peran sentral dalam melestarikan identitas dan nilai-nilai ortodoks yang dianut Rusia, melainkan juga mendorong warganya untuk melanjutkan keturunan lewat institusi pernikahan yang konvensional. Dengan kata lain, konservatisme budaya yang dijalankan Moskow secara paralael dengan agresi militernya di Ukraina itu juga untuk mengimbangi potensi penurunan lebih lanjut populasi laki-laki Rusia akibat bergugurannya tentara mereka di medan perang. Hal ini juga menyiratkan bahwa perang Rusia-Ukraina tidak akan selesai dalam waktu singkat, karena Moskow telah menyiapkan perangkat regulasi untuk mendukung agresinya hingga puluhan tahun mendatang.

Resolusi konflik dan peran pihak ketiga

Dalam konflik bereskalasi, peran pihak ketiga sering kali tidak terelakkan. Apalagi dalam konteks politik global, biasanya ada saja intervensi dari negara-negara yang lebih kuat. Namun, alih-alih meredakan ketegangan, kehadiran mereka kadang kala justru semakin memperparah konflik.

Perang Rusia-Ukraina setidaknya juga menunjukkan gejala tersebut. AS dan sekutunya terus mengirimkan bantuan persenjataan ke Ukraina, dengan harapan langkah semacam itu dapat mengurangi tindakan agresif Rusia. Di satu sisi, cara yang ditempuh Barat itu mungkin saja efektif. Akan tetapi, itu bukanlah jalan menuju penyelesaian konflik. Sebab, dengan memasok senjata ke Ukraina, AS dan negara-negara Barat lainnya sama saja memosisikan diri mereka sebagai pihak yang terlibat langsung dalam konflik. Semakin jauh mereka terlibat, semakin terbuka pula peluang untuk perang yang lebih besar, luas, dan lebih lama. Perang yang lebih besar berarti bencana yang lebih besar pula bagi kemanusiaan.

Lalu, peran pihak ketiga seperti apa yang dibutuhkan dalam krisis Ukraina? Sampai sejauh ini, peran juru runding yang dimainkan Turki tampaknya berguna. Sejak pecahnya agresi militer Rusia pada Februari lalu, Ankara telah mengambil posisi sebagai penengah. Di antara hasil penting yang dicapai lewat perundingan tripartit Rusia-Ukraina-Turki beberapa bulan lalu adalah, Moskow setuju untuk membuka kembali ekspor gandum dari Ukraina melalui Laut Hitam. Kesepakatan ini menjadi sangat penting karena akan berdampak pada pasokan pangan global.

Namun, seperti yang pernah dikemukakan Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin (2004), peran juru runding yang dimainkan pihak ketiga juga tidak menjamin terwujudnya penyelesaian konflik, jika kedua pihak yang bertikai sama-sama keras kepala. Apalagi dalam konflik yang tajam seperti pada perang Rusia-Ukraina saat ini, Moskow tentunya tak mau kehilangan muka. Karena itu, yang dituntut di sini bukan sekadar kepiawaian juru runding di meja diplomasi, tetapi juga kelihaian mereka dalam melunakkan hati para pemimpin negara yang berkonflik.***

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut