Mesir Tahan Pembangkang Tanpa Batas Waktu, Amnesty: Sistem Peradilan Sudah Busuk
LONDON, iNews.id - Amnesty International menuduh Mesir menahan para pembangkang di negara itu dalam penjara "tanpa batas waktu". Amnesty menyebut Mesir menahan para tahanan meskipun ada keputusan pengadilan yang memerintahkan pembebasan.
"Kami mendokumentasikan lima kasus di mana Penuntutan Keamanan Negara Tertinggi (SSSP) melewati perintah pengadilan untuk membebaskan (para pembangkang) dari penahanan sewenang-wenang dengan memenjarakan mereka dalam kasus-kasus baru berdasarkan tuduhan palsu," demikian pernyataan Amnesty, seperti dilaporkan AFP, Kamis (11/7/2019).
"Tawaran untuk menjaga mereka di balik jeruji tanpa batas adalah sinyal yang mengkhawatirkan tentang betapa sudah membusuknya sistem peradilan negara itu."
Najia Bounaim, direktur kampanye Amnesty untuk Afrika Utara, menyebut praktik itu "tren" yang mengkhawatirkan.
"Ini membuat para tahanan yang sudah ditahan karena alasan palsu terjebak di 'pintu putar' sistem penahanan sewenang-wenang Mesir," katanya.
Di antara kasus-kasus yang disebut dalam laporan itu, ada terkait putri seorang ulama Islamis terkenal asal Qatar, Youssef Al Qardawi.
"Ola Al Qardawi dipenjara sejak 2017 karena keanggotaan kelompok teroris," demikian laporan Amnesty.
Meskipun ada putusan pengadilan yang memerintahkan pembebasannya pada 3 Juli, SSSP memerintahkan penahanannya dalam kasus lain yang tidak berdasar sehari kemudian.
Amnesty menyebut Ola menjadi sasaran lantaran adanya hubungan sang ayah dengan kelompok Ikhwanul Muslimin yang dilarang.
Ini juga merujuk pada produser Al-Jazeera, Mahmud Hussein, yang ditangkap di Kairo pada akhir Desember 2016 dan didakwa dengan tuduhan keanggotaan dalam organisasi teroris, menerima dana asing, dan menerbitkan informasi palsu.
Jaksa memerintahkan pembebasannya pada 21 Mei namun sepekan kemudian SSSP kembali menjebloskan ke pencara atas banyak tuduhan dan memerintahkan penahanannya kembali.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia secara teratur menuduh rezim otoriter Presiden Abdel Fattah Al Sisi, yang mengambil alih kekuasaan setelah Mohammed Morsi digulingkan pada 2013, memberangus oposisi sekuler dan Islam.
Editor: Nathania Riris Michico