Miris, Ayah di Afghanistan Terpaksa Jual Putri Kecilnya untuk Menghidupi Keluarga
KABUL, iNews.id - Seorang ayah di Afghanistan terpaksa menjual putrinya senilai 420 pound streling atau sekitar Rp8,2 juta akibat himpitan masalah ekonomi. Putrinya berusia empat tahun dijual kepada seorang pemilik toko roti yang tak memiliki anak.
Namun Nazir (38) dihadapkan pada situasi sulit akibat runtuhnya mata uang Afghani setelah Taliban menguasai Afghanistan. Harga kebutuhan di negara itu melonjak tajam.
Banyak warga terpaksa menjual apa saja yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, mantan perwira polisi ini sudah tak memiliki barang apa pun untuk dijual.
The Times melaporkan, Nazir terpaksa melepaskan putri kecilnya, Safia, kepada pemilik toko di Pasar Jada-e Maiwan di Kabul.
"Saya lebih suka mati daripada harus menjual putri saya. Tetapi kematian saya tidak akan menyelamatkan siapa pun di keluarga saya. Siapa yang akan memberi makan anak-anak saya yang lain?" katanya.
Bisa dibilang, Nazir menggadaikan putrinya. Pemilik toko setuju bila Nazir memiliki uang, dia dapat mengambil kembali putrinya.
"Dia mungkin memiliki masa depan yang lebih baik dengan bekerja di toko daripada tinggal bersamaku. Dan harganya mungkin menyelamatkan keluargaku," katanya.
Nazir melarikan diri ke Kabul bersama istri dan lima anaknya sebelum Taliban merebut ibu kota. Saat ini mereka bekerja sebagai kuli di pasar tetapi upahnya tidak cukup untuk membayar sewa.
"Kami lega bahwa perang dan pertempuran telah berakhir, tetapi kami semua menghadapi musuh baru - kemiskinan," katanya.
Keadaan ekonomi Afghanistan yang mengerikan makin diperburuk oleh penarikan bantuan asing. Cadangan uang pemerintah sebelumnya juga telah dibekukan setelah Taliban merebut kendali.
Pada akhir Agustus, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkanAfghanistan akan segera kehabisan makanan.
Sebanyak 18,5 juta orang di negara itu bergantung pada bantuan. Sementara World Food Programme (WFP) mengatakan sedang berjuang untuk mendapatkan pasokan untuk negara itu.
Editor: Umaya Khusniah