Ngeri, Ukraina Ingin Pakai Bom Klaster Perang Lawan Rusia
WASHINGTON, iNews.id - Amerika Serikat (AS) yakin bom klaster atau amunisi tandan akan berguna bagi Ukraina dalam perang melawan Rusia. Meski demikian, AS belum akan memberikan senjata bernama Dual-Purpose Conventional Improved Munitions (DPICM) itu karena beberapa alasan.
Laura Cooper, wakil asisten Menteri Pertahanan AS bidang Rusia dan Ukraina, mengatakan ada beberapa alasan mengapa negaranya belum bisa memberikan bom klaster saat ini.
"Analis militer kami mengonfirmasi, DPICM akan berguna, terutama dalam melawan posisi Rusia di medan perang. Alasan mengapa Anda belum melihat langkah maju dalam menyediakan kemampuan ini, terkait dengan pembatasan di Kongres yakni pada ketentuan DPICM serta kekhawatiran tentang sekutu," kata Cooper, kepada para anggota Kongres AS, Kamis kemarin, seperti dilaporkan Reuters.
Penggunaan bom klaster dilarang oleh lebih dari 120 negara. Senjata ini bekerja dengan melepaskan bom kecil dalam jumlah besar yang bisa membunuh manusia atau makhluk hidup lain tanpa pandang bulu dalam skup wilayah yang luas. Oleh karena itu warga sipil bisa terkena dampaknya.
Ukraina dianggap memerlukan bom ini karena sedang fokus melakukan serangan pembalasan terhadap posisi Rusia di selatan dan timur.
Sejak awal invasi Rusia pada Februari 2022, Ukraina telah meminta berbagai macam jenis senjata kepada AS. Sebagian besar permintaan itu dikabulkan, meski pada awalnya ditolak seperti sistem roket HIMARS, sistem pertahanan Patriot, dan tank Abrams.
Sementara itu Rusia memperingatkan dampak masif penggunaan bom klaster, apalagi dalam perang perkotaan. Bom akan hingga melukai bahkan membunuh warga sipil. Selain itu efek penggunaan bom ini akan berlangsung lama, bahkan setelah konflik berakhir. Ini karena ada kemungkinan bom tak langsung meledak saat dilepaskan.
Sebanyak 123 negara meneken pakta pelarangan bom klaster pada 2008, baik produksi, penggunaan, dan penimbunan. Sebagian besar anggota NATO meneken pakta tersebut. Sementara AS, Rusia, dan Ukraina menolak untuk bergabung.
Editor: Anton Suhartono