Operasional Starlink di Indonesia: Pertahanan Vs Investasi Digital
Muhamad Syauqillah
Ketua Prodi Kajian Terorisme SKSG UI,
Wakil Ketua Lakpesdam PBNU
RENCANA operasional satelit komunikasi low earth orbit (LEO) milik Elon Musk, Starlink, untuk melayani langsung konsumen dalam negeri teradang kebijakan kewajiban kerja sama dengan penyedia layanan lokal. Di lain sisi, Indonesia baru saja mengudarakan satelit Satria yang digadang-gadang dapat melayani jaringan internet hingga ke pelosok negeri.
Dua fakta penting di atas patut untuk dicermati, bagaimana melihat pengelolaan layanan jaringan internet di Indonesia. Di satu sisi, diskursus nilai investasi di dalam negeri berkenaan dengan peristiwa tersebut tentunya diharapkan berimbas positif pada ekonomi digital. Namun di sisi lain, terdapat fakta bahwa perlu penyeimbangan berbagai kepentingan bersamaan dengan harapan atas manfaat ekonomi. Ada kepentingan pertahanan dan keamanan, serta kepentingan kolaborasi antarpenyedia jasa internet dalam dan luar negeri yang tidak boleh dikalahkan. Lalu bagaimana menjaga titik keseimbangan tersebut?
Daulat kelola dan keamanan
Hadirnya satelit LEO-Starlink pada satu bagian, diakui membuka peluang ekonomi yang makin tersebar hingga pelosok negeri. Kualitas jaringan yang semakin baik dihadirkan satelit memungkinkan masyarakat berkomunikasi antarsesamanya di jarak yang bahkan terjauh pun dapat dipenuhi secara berkualitas. Apalagi layanan ini dibarengi dengan janji biaya murah.
Namun di bagian yang lain, satelit milik asing yang menampung komunikasi data masyarakat Indonesia juga membuka peluang kerawanan terhadap ancaman pertahanan dan kemanan negara. Hal ini juga yang menjadi perhatian lebih dari satu dekade masyarakat Uni Eropa (UE) berkenaan dengan kerawanan “kedaulatan digital” mereka dengan dengan adanya teknologi komunikasi berkemampuan penyimpanan data besar warga. Kemampuan bangsa Eropa untuk bertindak independen di dunia digital (Madiega Tambiama, 2020) menghadapi tantangan. Sebagai persekutuan kawasan yang bukan hanya soal ekonomi namun juga persekutuan politik, tentu hal demikian menjadi perhatian besar Uni Eropa.
Perhatian UE terhadap “ancaman” kedaulatan digital semakin besar tatkala mendapati fakta bahwa teknologi komunikasi dari China yang membanjiri pasar UE telah membuat mereka makin berketergantungan. Mereka merasa kehilangan kendali atas data mereka, atas kapasitas mereka untuk berinovasi, dan atas kemampuan mereka untuk membentuk dan menegakkan undang-undang di lingkungan digital. Karena itulah UE membuat berbagai kebijakan mulai dari pelindungan data pribadi (GPDR), inisiasi infrastruktur awan (cloud infrastructure), kebijakan keamanan jaringan dan informasi (NIS), kode komunikasi elektronis (EECC), hingga menggelontorkan dana besar untuk riset industri telekomunikasi, semi konduktor dan lainnya.
Bagi Indonesia, satelit LEO-Starlink milik Elon Musk yang markas bisnisnya dibangun di Amerika memantik ingatan kita tentang adanya pakta pertahanan Australia, Inggris (UK), dan Amerika Serikat (AUKUS) yang ditandatangani pada 15 September 2021. Salah satu isinya adalah tentang pembangunan sistem, mekanisme, dan infrastruktur pertahanan siber. Apalagi pada Mei 2023, Amerika juga menandatangani perjanjian kerja sama pertahanan dengan Papua Nugini (PNG). Salah satunya tentang pendirian pangkalan militer setelah sebelumnya dibangun di Darwin, Australia, kini juga dibangun di PNG. Lagi-lagi keduanya adalah reaksi geopolitik terhadap kebijakan dan langkah negara China baik di dalam maupun luar negeri. Belum lagi jika melihat konflik di Laut China Selatan (LCS) yang hingga hari ini masih belum memadamkan sumber api ketegangan kawasan.
Persoalan independensi yang dialami Uni Eropa, pada banyak hal juga dialami Indonesia. Bagaimana negara dapat independen dan bebas mengelola aset data, kapabilitas, dan berinovasi, di dalam ruang sibernya jika mulai dari gawai, server, mesin pencari, aplikasi (app) bahkan satelit komunikasinya dimiliki asing atau berada di luar Indonesia. Apalagi semakin murah layanan yang diberikan penyelenggara luar negeri berbanding lurus dengan semakin tinggi nilai yang dibutuhkan untuk berinovasi secara mandiri.
Pada bagian lain, persoalan ancaman keamanan siber yang dialami EU, Amerika, dan China, juga tidak luput menjadi perhatian dari apa yang terjadi di Indonesia. Serangan dan kejahatan siber yang menyasar Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, Indonesia mendapatkan 370,02 juta serangan siber pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 38,72 persen dibanding 2021 sebanyak 266,74 juta serangan. Hingga akhir semester kedua 2023, BSSN juga mendeteksi 347 insiden siber dengan kasus tertinggi berupa kebocoran data khususnya pada sektor infrastruktur informasi vital. Kerentanan jaringan dan infrastruktur siber di Indonesia masih memerlukan perhatian yang besar bagi bangsa Indonesia.
Menguatkan kedaulatan digital
Situasi dunia siber di mana teknologi melintas batas dan menjadi tempat bertransaksinya ratusan juta data pribadi warga bangsa membuat banyak negara makin memikirkan kedaulatannya di ruang siber (cyberspace). Perkembangan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan yang digambarkan sebagai kontributor dari terjadinya polarisasi, radikalisme, dan kekerasan politik oleh Joe Burton (2023) dengan “algorithmic extremism” sangat mungkin terjadi di Indonesia jika pemerintah tidak cepat mengambil langkah menegakkan kedaulatan digitalnya. Apalagi jika serangan siber terhadap aktivitas luar angkasa seperti diuraikan peneliti China, Du Li (2022), terjadi. Bukan tidak mungkin serangan demikian juga bisa terjadi terhadap satelit LEO-Starlink yang sudah mengudara di langit Indonesia.
Wajar jika Presiden Uni Eropa, Ursula von der Leyen, mengungkapkan pentingnya kebijakan digital-siber sebagai prioritas politiknya pada 2019-2024. Bukan hanya sekadar mengelola pemanfaatan lingkungan digital untuk kepentingan ekonomi-konsumsi, melainkan meluaskannya hingga mengamankan aset-aset digital warga negaranya. Von Der Leyen “memprotes” betapa bergantungnya teknologi digital UE kepada bangsa lain khususnya China, padahal China sendiri menggunakan teknologi yang sama untuk kebijakan superprotektif terhadap warga negaranya. Kekesalannya terpicu ketika UE menetapkan kebijakan untuk menerapkan standar keamanan secure socet layer (SSL) yang diwajibkan kepada semua penyedia lalu-lintas data di UE, banyak pihak memprotesnya. Namun EU tetap jalan dengan kebijakannya. Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia makin perlu menegaskan kedaulatan sibernya dalam situasi geopolitik kawasan dan dunia masa kini. Pemerintah perlu meneruskan kebijakan komprehensif menegakkan independensi pengelolaan dan pengamanan sibernya. Indonesia memang sudah memiliki sejumlah peraturan untuk dunia sibernya seperti; UU Telekomunikasi tahun 1999, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (2008), UU Pelindungan Data Pribadi (2022), dan berbagai peraturan teknis seperti peraturan tentang hak labuh, teknologi komunikasi dan lainnya. Namun demikian, masih banyak situasi yang kosong aturan dalam dunia siber di Indonesia. Kekosongan seperti aturan tentang pengamanan teknologi dan infrastruktur digital makin mutlak diperlukan oleh bangsa ini.
Hadirnya LEO-Starlink dan perlombaan negara-negara lain untuk memproduksi satelit orbit rendah dan teknologi AI perlu menjadi perhatian tersendiri dalam kebijakan negara. Sedapat mungkin teknologi dari luar negeri yang dipakai dan bertebaran di Indonesia harus mengakui ke-Indonesia-an dengan membuka sistem keamanannya untuk dapat digunakan demi kepentingan kedaulatan negara.
Pikiran tentang kedaulatan siber di berbagai negara juga bicara tentang kemanan dan pertahanan siber di dalamnya. Namun demikian berbicara tentang keamanan dan pertahanan siber bukan berarti menyerahkannya sepenuhnya hak warga di tangan kuasa negara. Prinsip-prinsip hak manusia yang universal perlu menjadi pertimbangan dalam membangun sistem keamanan dan pertahanan siber. Hal ini membutuhkan keseimbangan dua sisi mata uang antara kedewasaan berkewarganegaraan dari warga negara dan pentingnya menjaga keamanan dan pertahanan eksistensi negara. Kemanan multidireksional (Burton, 2023) dan kolaboratif antarawarga negara, bisnis, dan negara perlu menjadi pertimbangan kebijakan keamanan dan pertahanan siber indonesia di masa depan.
Bersiap untuk masa depan
Rancangan UU Keamanan dan Ketahanan Siber yang sempat dibahas di DPR perlu dilanjutkan dengan melibatkan berbagai stakeholder dunia siber dengan kesadaran pentingnya menjaga eksistensi negara. Bukan hanya soal warga yang dibatasi kebebasannya oleh negara melainkan juga warga dan dunia usaha yang sadar pentingnya menjaga aset digital di masa depan untuk kepentingan eksistensi Indonesia.
Peta jalan digital Indonesia yang membahas pengelolaan untuk kepentingan ekonomi perlu dilengkapi juga dengan peta jalan menuju kedaulatan siber yang memasukan pembangunan sistem keamanan dan ketahanan siber di dalamnya. Peta jalan kemandirian (independency) digital Indonesia selayaknya dibicarakan agar Indonesia benar-benar dapat menegakkan kedaulatan dunia sibernya. Mandiri dalam infrastruktur, pengelolaan, dan pertahanan keamanannya.
Elon Musk dengan LEO-Starlink-nya sudah membangun lakon di Indonesia dan akan menjadi salah satu pusat transaksi aset digital Indonesia. Kita berharap kemanfaatan ekonomisnya juga seimbang dengan keamanan dan pertahanan ases digital bangsa ini. Kedepan kita perlu lebih serius membangun peta jalan digital-siber indonesia. Elon sudah melakon, saatnya kita bangun siber Indonesia yang produktif, aman dan selamat, alon alon asal kelakon. ***
Editor: Ahmad Islamy Jamil