PBB Terapkan Sanksi Lagi, Iran: Preseden Berbahaya bagi Tatanan Global
TEHERAN, iNews.id - Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran Abbas Araghchi memperingatkan keras upaya Amerika Serikat (AS) dan tiga negara Eropa Inggris, Prancis, Jerman (E3) yang menerapkan kembali sanksi internasional terhadap Teheran.
Langkah tersebut bukan hanya keliru, tapi juga menciptakan preseden berbahaya bagi tatanan global.
Pernyataan itu disampaikan Araghchi sebagai respons atas sikap E3 menolak resolusi Dewan Keamanan PBB yang diusulkan Rusia dan China untuk menunda pemberlakuan kembali sanksi atau snapback. Dengan ditolaknya resolusi itu, Iran menghadapi sanksi baru yang seharusnya berlaku Minggu (28/9/2025).
Preseden yang Mengancam Tatanan Global
Araghchi menegaskan, bila Dewan Keamanan PBB setuju mengaktifkan kembali sanksi, maka kredibilitas lembaga itu akan runtuh. Pemberlakukan sanksi kembali terhadap Iran setelah kesepakatan pengendalian nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) tahun 2015 merupakan pelanggaran yang terang-terangan.
“Upaya untuk memulihkan sanksi terhadap Iran adalah tindakan sembrono, batal demi hukum, dan bisa menjadi preseden berbahaya yang merusak kepercayaan terhadap seluruh tatanan global,” ujarnya, seperti dikutip dari Anadolu.
Iran Merasa Dikhianati
Dia menambahkan, Iran sudah banyak berkorban dalam kerangka kesepakatan JCPOA tahun 2015. Meski AS keluar dari perjanjian tersebut pada 2018, di bawah pemerintahan Donald Trump, dan kembali menjatuhkan sanksi yang memukul perekonomiannya, Teheran tetap berusaha mematuhi isi kesepakatan.
Araghchi juga menuduh AS dan E3 tidak memiliki niat tulus untuk menyelesaikan masalah nuklir melalui diplomasi.
“Penolakan Amerika Serikat terhadap setiap inisiatif diplomatik membuktikan bahwa negosiasi dengan Washington hanya akan menemui jalan buntu. E3 pun memilih konfrontasi, bukan dialog,” tuturnya.
Iran, lanjut dia, tidak akan tunduk pada ancaman atau tekanan. Sebaliknya, Iran memperingatkan bahwa setiap langkah ilegal untuk menghidupkan kembali sanksi akan semakin memperburuk ketegangan dan melemahkan peran PBB sebagai penjamin perdamaian dunia.
Editor: Anton Suhartono