Pembakaran Siswi Bangladesh yang Diduga Diperkosa Picu Aksi Protes
DHAKA, iNews.id - Puluhan orang turun ke jalan-jalan di Ibu Kota Bangladesh, Dhaka, menuntut keadilan bagi seorang siswi sekolah berusia 18 tahun yang tewas dibakar hidup-hidup. Siswi itu dibakar hidup-hidup karena menolak membatalkan tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan kepala sekolahnya.
Nusrat Jahan Rafi mengatakan kepada keluarganya bahwa dia dibujuk ke atap sekolah di desanya di Kota Feni pada 6 April dan diminta untuk menarik dakwaan oleh lima orang yang mengenakan burqa. Ketika dia menolak, dia mengatakan tangannya diikat dan disiram minyak tanah kemudian dibakar.
Rafi menceritakan kisah itu kepada saudara laki-lakinya di ambulans dalam perjalanan ke rumah sakit dan dia mencatat kesaksiannya di ponselnya. Dia meninggal empat hari kemudian dengan luka bakar yang menutupi 80 persen tubuhnya.
Kekerasan tersebut mengguncang Bangladesh, memicu protes dan meningkatkan kekhawatiran atas penderitaan perempuan dan anak perempuan di negara berpenduduk mayoritas Muslim konservatif yang berpenduduk 160 juta orang di mana pelecehan dan kekerasan seksual sering tidak dilaporkan, para korban diintimidasi dan proses hukum berlangsung lama.
Banyak yang menghindari melapor ke polisi karena stigma sosial.
"Kami menginginkan keadilan. Gadis-gadis kami harus tumbuh dengan aman dan bermartabat," kata Alisha Pradhan, seorang model dan aktris, dalam aksi demonstrasi Jumat kemarin, seperti dikutip dari AP, Sabtu (20/4/2019).
"Kami memprotes segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan pihak berwenang harus memastikan keadilan," imbuhnya.
Puluhan ribu orang menghadiri pemakaman Rafi di Feni, dan Perdana Menteri Sheikh Hasina berjanji kepada keluarga Rafi ketika mereka bertemu di Dhaka bahwa pelaku yang bertanggung jawab akan dihukum.
"Setidaknya 17 orang, termasuk siswa, telah ditangkap sehubungan dengan kasus ini," kata Kepala Biro Investigasi Kepolisian, Banaj Kumar Majumder.
Pada akhir Maret, Rafi mengajukan laporan kepada polisi bahwa kepala sekolah madrasahnya, memanggilnya ke kantornya dan menyentuhnya dengan tidak pantas dan melakukannya berulang kali. Keluarganya setuju untuk membantunya mengajukan pengaduan, yang mendorong polisi untuk menangkap kepala sekolah.
Hal ini membuat marah kepala sekolah dan para pendukungnya. Politisi lokal yang berpengaruh mendukung kepala sekolah, dan anggota partai yang berkuasa juga berada di antara yang ditangkap.
Polisi mengatakan, para tersangka memberi tahu mereka selama interogasi bahwa serangan terhadap Rafi telah direncanakan dan diperintahkan oleh kepala sekolah dari penjara ketika para pendukungnya mengunjunginya.
"Serangan itu diatur pada siang hari sehingga akan terlihat seperti upaya bunuh diri," kata Majumder.
Human Rights Watch menyatakan bahwa keluarga Rafi mengatakan mereka menerima ancaman pembunuhan sebelum serangan itu, memberitahu mereka untuk membatalkan kasus tersebut.
Sementara kasus Rafi sekarang sedang ditangani dengan mendesak, namun kasus itu tidak terjadi sampai kematiannya.
Sebuah video yang diambil pada 27 Maret ketika Rafi melaporkan serangan itu menunjukkan kepala polisi tempat dia mendaftarkan laporannya mengatakan kepadanya bahwa insiden itu bukan masalah besar. Kepala polisi itu kemudian dipindahkan dari kantor polisi karena kelalaian dalam menangani kasus ini.
Bagi perempuan Bangladesh, tidak mudah untuk mengajukan laporan yang sensitif kepada polisi. Para korban takut akan pelecehan dan intimidasi lebih lanjut. Polisi sering menunjukkan keengganan untuk menyelidiki kasus-kasus seperti ini dan dituduh dipengaruhi oleh politik lokal atau suap.
Namun seruan untuk menangani kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang terkait dengan pelecehan dan penyerangan seksual, semakin keras.
"Pembunuhan mengerikan seorang wanita pemberani yang mencari keadilan menunjukkan betapa buruknya pemerintah Bangladesh telah gagal melindungi korban kekerasan seksual," kata Meenakshi Ganguly, direktur Human Rights Watch Asia Selatan.
"Kematian Nusrat Jahan Rafi menyoroti perlunya pemerintah Bangladesh untuk menganggap serius para penyintas kekerasan seksual dan memastikan bahwa mereka dapat dengan aman mencari upaya hukum dan dilindungi dari pembalasan," imbuhnya.
Editor: Nathania Riris Michico