Perjalanan Hidup Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak: Si Tangan Besi yang Cinta Damai
KAIRO, iNews.id - Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak meninggal di Kairo dalam usia 91 tahun pada Selasa (25/2/2020). Mubarak menghabiskan 30 tahun menjabat presiden Mesir sebelum adanya gerakan demonstrasi Arab Spring yang menyingkirkannya.
Dia dinyatakan bersalah berkomplot melakukan pembunuhan terhadap para demonstran dalam revolusi. Putusan ini dibatalkan dan dia dibebaskan pada Maret 2017.
Dilaporkan BBC, kematian Mubarak dipastikan oleh kantor berita Mesir pada Selasa (25/2/2020). Situs berita Al-Watan melaporkan dia meninggal di rumah sakit militer.
Mubarak menjalani operasi akhir Januari lalu. Putranya, Alaa, mengatakan pada Sabtu lalu bahwa Mubarak berada di unit perawatan intensif.
Lahir pada 1928, Mubarak mendaftar ke angkatan udara ketika remaja. Dia memainkan peran penting dalam perang Arab-Israel pada 1973.
Kurang dari 10 tahun kemudian, dia menjadi presiden menyusul pembunuhan yang terjadi pada pendahulunya, Presiden Anwar Sadat. Dia juga memainkan peran kunci dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Di tengah miliaran dolar bantuan militer yang diterima Mesir selagi dia berkuasa, pengangguran, kemiskinan, dan korupsi terus tumbuh di Mesir.
Ketidakpuasan memburuk pada Januari 2011 sesudah ada protes sejenis sebelumnya di Tunisia yang berhasil menjatuhkan presiden. Mubarak kemudian dijatuhkan 18 hari kemudian.
Hosni Mubarak berlatar belakang militer, tetapi dia memegang komitmen negaranya akan perdamaian internasional.
Di bawah kepemimpinannya, Mesir memainkan peran utama menjadi perantara perjanjian damai antara Israel dan Palestina.
Selama 30 tahun berkuasa, dia tersingkir karena revolusi Arab pada 2011.
Dia dikritik lantaran menggunakan hukum darurat militer untuk menghantam lawan politikya; dan di tahun-tahun akhir hidupnya dihabiskan untuk menghadapi tuduhan korupsi.
Pilot pesawat tempur
Muhammad Hosni Said Mubarak dilahirkan pada 4 Mei 1928 di Kafr-El Meselha, Mesir utara. Dilahirkan di keluarga miskin, dia lulus dari Akademi Militer Mesir pada 1949.
Mubarak dipindahkan ke angkatan udara dan bertugas di sana pada 1950.
Selama dua tahun, dia menerbangkan pesawat Spitfires dan menjadi instruktor pesawat. Dia menyaksikan kudeta militer Jenderal Jamal Abdul Nasser pada 1952 dan konflik Suez yang mengiringinya.
Pada 1959, Mubarak ke Uni Soviet -yang menjadi pemasok senjata ke pemerintah Mesir- untuk belajar menebangkan pesawat pengebom.
Dia menikah dengan Suzanne -saat usianya 17 tahun, anak seorang dokter- dan berhasil merintis karier sehingga menjadi kepala Akademi Angkatan Udara, lalu menjadi Kepala Staf Angkatan Udara pada 1972.
Pahlawan nasional
Namun dia naik daun saat menjabat Komandan Angkatan Udara dan Wakil Menteri Pertahanan. Mubarak berperan penting dalam merencanakan serangan kejutan terhadap militer Israel pada awal perang Arab-Israel pada 1973.
Serangan itu terjadi di Yom Kippur, hari suci dalam kalender Yahudi. Mubarak menjadi pahlawan nasional untuk peran yang dimainkan angkatan udara dalam serangan di Terusan Suez.
Hampir terjadi konflik super power antara Rusia dan Amerika Serikat (AS) ketika mereka mendukung sekutunya masing-masing. Israel mengusir invasi Mesir tapi akhirnya mengembalikan Sinai ke Mesir.
Wakil presiden
Penghargaan kepada Mubarak didapatkan dua tahun kemudian ketika Presiden Anwar Sadat mengangkatnya sebagai wakil presiden. Sadat punya kebijakan luar negeri yang disebutnya sebagai "kejutan listrik".
Dia mengusir 16.000 penasehat militer Soviet, mengunjungi Yerusalem saat sedang perang, dan menolak bertemu dengan para pemimpin Arab Saudi.
Mubarak lebih banyak mengurusi urusan dalam negeri, dan mulai membangun hubungan personal yang kuat dengan para pemimpin Arab -khususnya Putra Markota Pangeran Fahd.
Dia merupakan pendukung penting dari perjanjian damai Camp David pada 1979 -yang ditandatangani oleh Presiden Sadat dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
Perjanjian ini memecah Dunia Arab dengan tajam.
Mubarak menyesali kegagalan Sadat untuk memelihara hubungan dengan sekutu moderat; dan kelompok radikal murka terhadap hal yang dipandang sebagai pengkhianatan.
Pada Oktober 1981, prajurit yang bersimpati pada satu kelompok radikal menembak mati Sadat pada sebuah parade saat memperingati kemenangan perang Arab-Israel 1973.
Para pembunuh ini bersembunyi di dalam truk yang berhenti di seberang presiden.
Disangka sebagai bagian dari parade, Sadat maju dan memberi hormat pada mereka.
Prajurit ini melontarkan granat dan menembak kerumunan secara membabi buta dengan senjata AK-47. Sadat meninggal di rumah sakit dua jam kemudian. Hosni Mubarak termasuk yang terluka.
'Perdamaian dingin'
Mubarak naik ke kursi presiden, mendapatkan 98 persen suara pada referendum nasional -di mana dia adalah satu-satunya calon.
Dia berjanji berpegang pada perjanjian Camp David, tapi hubungan dengan Israel lebih dingin ketimbang di bawah Sadat. Komentator mulai menggambarkannya sebagai "perdamaian dingin".
Mesir dan Arab Saudi -dua negara berpenduduk terbesar dan terkaya- juga bergabung untuk melawan tumbuhnya kekuatan Iran di bawah Ayatollah Khamenei.
Mesir -yang dikeluarkan dari Liga Arab pada 1979- masuk kembali, dan markas organisasi itu dikembalikan ke tempat asalnya di tepi sungai Nil.
Mubarak dididik di bawah akademi militer Uni Soviet dan bisa bicara bahasa Rusia, tetapi berhasrat memperkuat hubungan dengan negara-negara Barat.
Peran utama Mubarak dalam proses perdamaian Israel-Palestina memperkuat hubungannya dengan banyak presiden Amerika yang memberi bantuan jutaan dolar kepada Mesir.
Pengkritiknya menuduhnya sebagai boneka Amerika, memenjara, dan menyiksa para pembangkang serta memanipulasi pemilu.
Dia memperluas kewenangan pasukan keamanan internal dan selamat dari enam kali percobaan pembunuhan, serta terluka dari percobaan pembunuhan dengan pisau di Port Said.
Perang teluk
Invasi Irak ke Kuwait pada 1991 menjadi pukulan bagi Mubarak yang mengakui dia menerima janji dari Saddam Hussein bahwa tak ada rencana aksi untuk melakukan serangan itu.
Mubarak mendukung sanksi internasional sebagai respons, dia juga menjanjikan dukungan koalisi militer untuk melawan irak. Saddam menyerukan penggulingan pemerintah Mesir, tetapi miliaran dolar utang dihapuskan oleh AS dan kreditor internasional lain.
Satu dekade kemudian, Mubarak tak memberi dukungan kepada invasi AS ke Irak pada 2003. Dia mengatakan serangan ini akan menyebabkan munculnya "100 Bin Laden" dan menyatakan keyakinannya bahwa penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina merupakan prioritas puncak di kawasan ini.
Dia terpilih kembali dalam referendum tanpa saingan pada 1987, 1993, dan 1999. Ada pemilu multi partai pada 2005, tetapi aparat keamanan internal dan sistem pemilu masih berada di bawah kendali Mubarak.
Mubarak sukses menarik investasi asing, tapi buahnya tak mencapai warga yang paling membutuhkan. Banyak laporan bahwa kekayaan keluarga Mubarak mencapai 50 juta poundsterling.
Demonstrasi Arab - Arab Spring
Pada Januari 2011, Mesir meledak. Terjadi demonstrasi selama berminggu-minggu yang frustrasi oleh kemiskinan, korupsi, pengangguran, dan pemerintahan militer.
Janji Mubarak untuk tak menghalangi pemilu presiden dianggap tidak cukup. Sesudah protes selama 18 hari, dia mengumumkan pengunduran diri.
Hanya empat bulan kemudian, Mubarak yang sedang sakit diperintahkan menghadiri pengadilan. Sembari berbaring di tempat tidur rumah sakit, dia menghadapi tuduhan korupsi dan pembunuhan yang direncakanan terhadap para demonstran.
Tim pembelanya menyatakan dia secara resmi masih presiden Mesir sehingga tidak bisa diadili.
Pada Juni 2012, Mubarak dihukum seumur hidup karena gagal menghalangi pembunuhan terhadap demonstran, tetapi dia bebas dari tuduhan lain. Putusan ini memicu serangkaian protes di jalan-jalan di Kairo.
Hukumannya dibatalkan enam bulan kemudian dan diperintahkan pengadilan ulang. Dia dijadikan tahanan rumah di dalam rumah sakit militer di Kairo.
Dalam ragkaian putusan pengadilan, Mubarak dinyatakan tak bersalah untuk tuduhan korupsi, tetapi bersalah untuk penggelapan.
Pada 2017, pengadilan tertinggi Mesir akhirnya menyatakan dia bebas dari tuduhan membunuh demonstran, dan ia dibebaskan. Hosni Mubarak tidak seflamboyan para pendahulunya, Nasser dan Sadat; tapi dia bersumpah akan terus mengabdi pada Mesir hingga napasnya terakhir.
Selama 30 tahun berkuasa, Mesir relatif menjadi negara yang stabil. Namun banyak yang ditahan tanpa pengadilan dan disiksa.
Secara internasional, Mubarak mempertahankan kebijakan luar negeri yang bertujuan meredam konflik regional. Namun di dalam negeri, dia memerintah dengan tangan besi.
Editor: Nathania Riris Michico