PM Kamboja Hun Manet Perintahkan Wajib Militer, Isyarat Perang Lawan Thailand?
PHNOM PENH, iNews.id – Ketegangan perbatasan antara Thailand dan Kamboja terus memburuk, mendorong langkah-langkah dramatis dari kedua negara. Salah satunya datang dari Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, yang pada 14 Juli lalu mengumumkan akan mengaktifkan kembali program wajib militer bagi warga sipil pada 2026.
Langkah ini memicu spekulasi luas, apakah Kamboja bersiap menghadapi konflik bersenjata terbuka dengan Thailand atau sekadar strategi politik Hun Manet untuk memperkuat basis kekuasaan dalam negeri.
Isyarat Militerisasi Konflik?
Pengumuman itu muncul di tengah sengketa yang memanas di wilayah perbatasan Segitiga Zamrud, lokasi yang selama bertahun-tahun menjadi titik konflik antara kedua negara.
Kondisi memuncak saat lima tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat pada Rabu (23/7/2025), dengan satu di antaranya kehilangan kaki. Pemerintah Thailand menyalahkan Kamboja dan menyatakan telah menemukan bukti pemasangan ranjau baru oleh militer Kamboja di wilayah yang masih disengketakan.
Merespons insiden tersebut, Thailand segera mengusir Duta Besar (Dubes) Kamboja dan menarik dubesnya dari Phnom Penh, sekaligus menutup sejumlah pos perbatasan.
Dalam konteks ini, keputusan Hun Manet soal wajib militer dibaca banyak pihak sebagai sinyal kesiapan menghadapi kemungkinan perang terbuka.
“Dengan ketegangan saat ini, Kamboja harus memastikan seluruh generasi muda siap membela negara,” kata Hun Manet, dalam pernyataan resmi.
Kalkulasi Politik di Balik Seragam Militer
Namun tidak sedikit pengamat yang melihat langkah ini lebih sebagai manuver politik dalam negeri. Putra mantan Perdana Menteri Hun Sen itu baru beberapa tahun memimpin dan masih berada dalam proses konsolidasi kekuasaan.
Menghidupkan kembali wajib militer bisa berfungsi ganda: memperkuat nasionalisme dan mengalihkan perhatian dari problem internal seperti ekonomi, korupsi, atau dinamika oposisi.
"Langkah ini klasik, ketika tekanan politik dalam negeri meningkat, pemimpin akan menggunakan ancaman eksternal untuk menyatukan rakyat," ujar seorang pengamat politik Asia Tenggara, sebagaimana dilaporkan Bangkok Post.
Kebijakan ini juga membuka peluang ekspansi militer, baik dalam perekrutan, anggaran, maupun pengaruh militer dalam politik Kamboja. Dalam jangka panjang, bisa menjadi alat kontrol sosial.
Editor: Anton Suhartono