Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Pria Tiba-Tiba Tusuk Pemuda di Bekasi Pakai Obeng, Langsung Diamuk Massa
Advertisement . Scroll to see content

Pria dan Pamannya Dibakar Hidup-Hidup karena Desas-Desus di Whatsapp

Rabu, 14 November 2018 - 07:20:00 WIB
Pria dan Pamannya Dibakar Hidup-Hidup karena Desas-Desus di Whatsapp
Penduduk mengacungkan telepon genggam untuk merekam saat Ricardo dan pamanya, Alberto dibakar. (Foto: ENFOQUE)
Advertisement . Scroll to see content

ACATLAN, iNews.id - Desas-desus tentang penculik anak menyebar lewat WhatsApp di sebuah kota kecil di Meksiko. Rumor tersebut tidak benar, namun segerombolan orang membakar mati dua pria sebelum seorang pun memeriksa kebenarannya.

Pada 29 Agustus, tidak lama setelah tengah hari, Maura Cordero, pemilik sebuah toko seni dan pekerjaan tangan di sebuah kota kecil Acatlan, Negara Bagian Puebla, Meksiko tengah, melihat sekumpulan orang berkumpul di luar kantor polisi di sebelah tokonya.

Cordero (75) mendekati pintu dan melihat ke luar. Puluhan orang berada di luar pos polisi di Reforma Street, di pusat kota dan kerumunan orang terus bertambah. Tidak lama kemudian jumlahnya menjadi lebih dari seratus orang.

Cordero tidak ingat apakah dia pernah melihat kerumunan orang seperti itu di Acatlan, kecuali saat peringatan peristiwa tertentu.

Kehidupan terus berjalan di Acatlán, di tempat dimana Ricardo dan Alberto Flores dibakar hidup-hidup. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Dia melihat sebuah mobil polisi melintas tokonya, membawa dua pria ke penjara kecil. Mobil tersebut diikuti lebih banyak lagi orang dan semakin terdengar teriakan mereka menuduh kedua pria yang dibawa ke penjara tersebut sebagai penculik anak.

Dari balik pagar besi pintu masuk pos, polisi mengatakan kedua pria tersebut bukanlah penculik anak namun pelanggar hukum ringan. Polisi mengulangi perkataan tersebut berkali-kali, sementara kerumunan terus bertambah.

Ricardo Flores (21) duduk di dalam kantor polisi. Dia tumbuh di luar Acatlan namun kemudian pindah ke Xalapa, kota sejauh 250 kilometer arah timur laut, untuk mempelajari ilmu hukum.

Pamannya, Alberto Flores (43), seorang petani yang berpuluh-puluh tahun tinggal di sebuah masyarakat kecil di luar Acatlan. Ricardo baru saja kembali ke Acatlan untuk mengunjungi keluarganya.

Keduanya pergi ke pusat kota hari itu untuk membeli bahan bangunan guna menyelesaikan pembuatan beton sumur air.

Seorang pria membunyikan lonceng gereja kota, lonceng yang dibunyikan untuk menghimpun kerumunan orang pada hari itu. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Polisi mengatakan, tidak terdapat bukti kedua pria itu melakukan kejahatan. Adapun mereka dibawa ke pos karena "mengganggu ketertiban" setelah didatangi penduduk setempat.

Namun, kerumunan di luar kantor polisi di Reforma Street mengartikan kehadiran kedua pria tersebut dalam versi berbeda, dibumbui cerita yang yang asalnya tidak jelas dan menyebar lewat pesan pribadi WhatsApp.

"Semua orang harap waspada karena adanya wabah penculikan anak di negara ini," demikian pesan yang berpindah dari satu telepon selular ke telepon selular lainnya.

"Seperti para penjahat ini yang terlibat dalam perdagangan organ tubuh. Dalam beberapa hari terakhir, anak berumur empat, delapan, dan 14 tahun menghilang dan sebagian anak ini ditemukan meninggal dengan organ tubuh yang dicabut. Perut mereka dibuka dan dikosongkan."

Karena terlihat di dekat sekolah dasar bernama San Vicente Boqueron, Ricardo dan Alberto kemudian dianggap sebagai penculik anak.

Ayah Ricardo Flores, Jose Guadalupe Flores (45) dan anak perempuannya, Kimberly (10), di Acatlan. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Mereka menjadi korban ketakutan yang dirasakan masyarakat akibat hoax. Berita penangkapan mereka memang menyebar bersamaan dengan desas-desus penculik anak.

Kerumunan orang mendatangi kantor polisi, sebagian karena dipanas-panasi Francisco Martinez atau "El Tecuanito", orang yang sudah lama tinggal di Acatlan.

Menurut polisi, Martinez adalah salah satu orang yang menyebarkan pesan di Facebook dan Whatsapp, yang menuduh Ricardo dan Alberto. Di luar kantor polisi, dia mulai melakukan 'siaran langsung' di Facebook lewat teleponnya.

"Penduduk Acatlan de Osorio, Puebla, tolong berikan dukungan Anda, berikan dukungan Anda," katanya di depan kamera.

"Percaya kepada saya, penculiknya sekarang ada disini."

Jazmin Sanchez, janda Alberto, memberikan bunga marigold kepada anaknya di kebun keluarga di Acatlan. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Sementara pria lain, yang disebut sebagai Manuel oleh polisi, memanjat atap gedung balai kota di sebelah kantor polisi dan membunyikan lonceng kantor pemerintah untuk memberitahu penduduk setempat bahwa polisi berencana membebaskan Ricardo dan Alberto.

Pria ketiga, Petronilo Castelan — "El Paisa" — menggunakan pengeras suara untuk meminta penduduk menyumbangkan uang guna membeli minyak tanah agar dapat membakar kedua pria itu dan dia mendatangi kerumunan orang untuk mengumpulkannya.

Dari tokonya, Maura Cordero menonton dengan ketakutan, sampai dia mendengar dari seseorang di luar bahwa mereka harus melarikan diri karena kerumunan orang akan membakar hidup-hidup kedua pria itu.

Tidak lama kemudian, kumpulan orang itu menjadi gerombolan dengan satu tujuan. Pintu sempit pos polisi dibuka dengan paksa dan Ricardo dan Alberto Flores diseret keluar.

Sementara orang mengangkat tinggi-tingi telepon mereka untuk merekam, kedua pria itu didorong ke lantai dan dipukuli. Minyak tanah yang dibawa sebelumnya kemudian disiramkan ke tubuh mereka.

Maria dan Ricardo di rumah keluarga di Acatlan. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Saksi mata meyakini Ricardo sudah meninggal karena dipukuli, namun pamannya Alberto masih hidup ketika mereka membakar keduanya. Rekaman video memperlihatkan anggota tubuhnya bergerak perlahan saat api melalap mereka.

Jenazah gosong itu dibiarkan di tanah selama dua jam setelah dibakar, sementara jaksa dari Puebla City dalam perjalanan ke Acatlan.

Petra Elia Garcia, nenek Ricardo dipanggil ke tempat kejadian untuk mengidentifikasi dan dia mengatakan airmata masih terlihat di pipi Alberto saat dia tiba.

"Lihat apa yang Anda lakukan kepada mereka!" teriaknya kepada sisa kerumunan orang yang sudah mulai membubarkan diri.

Menurut pemerintah, lima orang itu kini didakwa memicu terjadinya kejahatan dan empat orang lain didakwa melakukan pembunuhan.

Martinez, yang menyiarkan secara langsung adegan kekerasan tersebut; Castelan, yang meminta minyak tanah; dan seorang pria yang disebut sebagai Manuel yang membunyikan lonceng. Mereka adalah tiga dari lima orang itu.

Ayah Ricardo Flores, Jose Guadalupe, mengamati lahan keluarga di Acatlan. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Polisi mengatakan, dua orang yang diduga penghasut dan empat terduga pembunuh masih buron.

Kematian Ricardo dan Alberto Flores di kota kecil Meksiko bukanlah peristiwa sejenis satu-satunya. Rumor dan berita palsu di Facebook dan WhatsApp juga menyebabkan kekerasan mematikan di India, Myanmar dan Sri Lanka, selain negara-negara lain.

Di India, sama seperti Meksiko, teknologi membesarkan desas-desus tentang penculik anak di abad ke-21, membuat informasi lebih cepat dan lebih jauh penyebarannya dengan tingkat ketepatan yang lebih rendah.

WhatsApp yang dibeli Facebook senilai 19 miliar dolar AS atau Rp281 triliun pada 2014, dikaitkan dengan serangkaian pembunuhan oleh kerumunan orang di India, yang sering kali dipicu berita palsu penculik anak.

Pada Juni, Di Negara Bagian Assam, terjadi kejadian yang mirip dengan di Acatlan, di mana Abhijit Nath dan Nilotpal Das mati dipukuli 200 orang.

Alberto Flores adalah ayah dari tiga anak perempuan, termasuk Xiamara Kaori Flores.  (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Menurut laporan Reuters Institute for the Study of Journalis 2018, baik WhatsApp maupun Facebook banyak digunakan untuk pemberitaan di Meksiko.

Menurut laporan yang sama, 63 persen pengguna internet di Meksiko mengatakan mereka sangat khawatir atau benar-benar sangat khawatir terkait dengan penyebaran berita palsu.

"Platform digital dipakai sebagai kendaraan untuk menyalurkan yang terbaik dan terburuk dari kita, termasuk ketakutan dan prasangka," kata Manuel Guerrero, direktur School of Communication di Universidad Iberoamericana, Meksiko.

"Dan itu lebih terlihat jika pihak berwajib yang seharusnya dapat menjamin keamanan kita, tidak efektif bekerja," katanya.

Maria del Rosario Rodriguez, memegang telepon genggam anak laki-lakinya. Dia tidak mampu melihat rumor palsu yang menyebabkan kematian anaknya. (Foto: BRETT GUNDLOCK)

Editor: Nathania Riris Michico

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut