Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Cemburu, Suami Bakar Istri hingga Tewas di Hadapan Anak-Anak
Advertisement . Scroll to see content

Rata-Rata 1 Anak di Australia Dibunuh Orang Tua setiap 2 Pekan

Rabu, 20 Januari 2021 - 13:39:00 WIB
Rata-Rata 1 Anak di Australia Dibunuh Orang Tua setiap 2 Pekan
Ilustrasi ibu dan anak. (Foto: Ist.)
Advertisement . Scroll to see content

CANBERRA, iNews.id – Catatan pembunuhan anak oleh orang tua di Australia terbilang mengkhawatirkan. Menurut data yang dihimpun Reuters, rata-rata satu anak di negeri kanguru meninggal karena dibunuh orang tua setiap hampir dua minggu.

Pekan lalu, tiga anak bernama Claire (7), Anna (5), dan Matthew (3) tewas di tangan ibu mereka, Katie Perinovic, di Kota Tullamarine. Setelah menghabisi nyawa ketiga buah hatinya, pelaku lantas bunuh diri.

Ayah dari ketiga bocah malang itu, Tomislav Perinovic, serta orang tua Katie dikabarkan telah menerima hasil penyelidikan awal dari kepolisian setempat.

Kurang dari setahun yang lalu, Hannah Clarke dan anak-anaknya Aaliyah, Laianah, dan Trey dibunuh oleh sang suami, Rowan Baxter. Pelaku menyiram mobil mereka dengan bensin dan membakarnya.

Pada 2019, Anthony Harvey dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Perth karena membunuh tiga anak perempuannya yang masih balita Charlotte, Alice, dan Beatrix. Tak hanya itu, Harvey juga menghabisi nyawa istrinya, Mara, serta ibu mertuanya (ibu Mara), Beverley.

Pada tahun yang sama, perempuan bernama Charmaine McLeod diduga dengan sengaja menyebabkan tabrakan maut di Queensland. Insiden itu menewaskan dia dan keempat anaknya yang masih kecil, Aaleyn, Matilda, Wyatt, dan Zaidok.

Dalam kriminologi, pembunuhan anak oleh orang tua kandung dikenal dengan istilah filisida. Data di Australia menunjukkan, kasus filisida mencapai 18 persen dari semua pembunuhan domestik setiap tahun.

Salah satu studi filisida nasional komprehensif terbaru di Australia mendokumentasikan 238 kasus antara 2000 dan 2012. Studi itu mencerminkan tren dalam sudut pandang lain, yang mengungkapkan fakta bahwa pembunuhan anak oleh laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu) diwakili dalam jumlah yang kurang lebih sama.

Prekursor umum yang dialami pelaku filisida antara lain berupa riwayat kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga; perpisahan atau perceraian orang tua, serta; penyakit mental. Untuk beberapa kasus, jumlah pelaku filisida perempuan dan laki-laki yang kurang lebih sama menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga sejatinya tidak memiliki gender.

Namun, di luar filisida, laki-laki melakukan hampir semua bentuk kekerasan pada tingkat yang lebih tinggi daripada perempuan, menurut analisis dalam studi itu. Begitu pun dengan bentuk paling umum dari kasus pembunuhan domestik—seperti pembunuhan pasangan intim—jauh lebih banyak dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pembunuhan anak-anak yang tidak disengaja, misalnya, lebih mungkin terjadi akibat penelantaran oleh ibu dan pelecehan oleh ayah atau ayah tiri, menurut studi itu. “Ini mencerminkan apa yang kita ketahui tentang pola gender dalam tanggung jawab pengasuhan anak dan kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga,” ungkap para peneliti yang terlibat dalam riset itu, dikutip Reuters, Rabu (20/1/2021).

Dalam kasus di mana anak-anak dibunuh dengan sengaja, perempuan cenderung membunuh bayi dan anaknya yang baru lahir, terutama dalam keadaan kehamilan yang tidak diinginkan. Pelaku seperti itu kebanyakan berusia muda dan memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah—meskipun kasus semacam itu juga semakin sering dilaporkan terjadi di kalangan perempuan berusia lebih tua.

Para ibu juga lebih mungkin membunuh anak-anak mereka selama episode psikotik.

Seperti yang terjadi pada 2017 misalnya, pengadilan menemukan Raina Thaiday dari Queensland, yang membunuh tujuh anak dan keponakannya, telah mengalami episode psikotik parah yang terkait dengan skizofrenia yang dipicu oleh penggunaan ganja dalam jangka panjang. Pengadilan pun memutuskan dia tidak dapat dinyatakan bertanggung jawab secara pidana atas pembunuhan massal itu.

Perempuan yang membunuh anak-anaknya juga cenderung punya keyakinan yang salah, bahwa dengan kematian, anak-anaknya tidak akan menderita—seperti oleh kehilangan orang tua karena bunuh diri.

Sementara itu, ayah yang membunuh anak-anaknya cenderung memiliki riwayat KDRT. Pelaku laki-laki cenderung membunuh buah hatinya karena balas dendam terhadap pasangan atau mantan pasangan dalam konteks perpisahan dalam keluarga.

Ketika John Edwards menembak dua anak remajanya, Jennifer dan Jack, di Sydney pada 2018, tindakan brutalnya itu menyusul riwayat KDRT dan perpisahan keluarga yang dialaminya. Nasib buruk itu berakhir dengan kematian mantan pasangannya, Olga, karena bunuh diri lima bulan kemudian.

Sementara, pada kasus pembunuhan keluarga (familisida)yang korbannya mencakup pasangan dan anak-anak, pelakunya hampir secara eksklusif adalah laki-laki. Para peneliti berpendapat, fenomena itu menunjukkan bahwa kaum pria lebih cenderung memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap perempuan dan anak-anak. Sementara, perempuan punya rasa yang sama terutama terhadap anak-anak mereka.

Meskipun pola gender di sekitar filisida penting  diteliti untuk memahami mengapa kejahatan seperti itu terjadi, tidak semua kasus cocok dengan pengklasteran tersebut di atas. Penyakit mental sering kali menadi faktor interaksi yang umum pada filisida ibu dan ayah, dan penyebabnya sering kali kompleks dan banyak.

“Saat orang tua membunuh, fokusnya sering kali tertuju pada pola pikir pelaku daripada anak-anak,” kata studi itu.

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow

Related News

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut