Revisi UU Disetujui, Warga China Boleh Punya 3 Anak
BEIJING, iNews.id – China secara resmi mengizinkan warganya memiliki anak ketiga. Kebijakan itu sebagai upaya pemerintah setempat untuk menahan krisis demografis yang dapat mengancam harapan negeri tirai bambu akan peningkatan kemakmuran dan pengaruh global.
Associated Press melansir, Badan Legislatif China pada Jumat (20/8/2021) telah menyetujui revisi Undang-Undang Kependudukan dan Keluarga Berencana. Selama puluhan tahun, UU tersebut telah digunakan Partai Komunis China yang berkuasa untuk membatasi ukuran keluarga sesuai dengan arahan politik mereka.
Sejak 1980-an, China secara ketat membatasi sebagian besar pasangan suami istri untuk memiliki hanya satu anak. Setiap pelanggar aturan itu dapat dikenakan hukuman denda atau kehilangan pekerjaan. Akibatnya, banyak orang tua China yang melakukan aborsi.
Kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki menyebabkan sebagian orang tua di negara itu tega membunuh bayi perempuan mereka. Hal itu membawa China kepada ketidakseimbangan besar dalam rasio jenis kelamin.
“Kebijakan satu anak” tersebut dilonggarkan untuk pertama kalinya pada 2015. China mengizinkan para orang tua punya dua anak, setelah pemerintah setempat melihat konsekuensi yang membayangi dari penurunan angka kelahiran mereka. Ketakutan yang luar biasa dari para penguasa di sana adalah, China telanjur menjadi tua sebelum menjadi kaya.
China telah lama menggembar-gemborkan kebijakan satu anaknya sebagai keberhasilan dalam mencegah 400 juta kelahiran tambahan di negara terpadat di dunia itu, sehingga menghemat sumber daya dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, tingkat kelahiran China—yang sejajar dengan tren di Korea Selatan, Thailand, dan ekonomi Asia lainnya—sebenarnya sudah turun juga sebelum aturan satu anak diterapkan. Rata-rata jumlah anak per ibu di China turun dari di atas enam orang pada 1960-an menjadi di bawah tiga orang pada 1980, menurut Bank Dunia.
Sementara itu, jumlah penduduk usia kerja di China menurun selama dekade terakhir dan populasinya hampir tidak tumbuh. Kondisi itu menambah ketegangan di tengah masyarakat yang kian menua.
Sensus yang diadakan pemerintah setiap dasawarsa menemukan bahwa populasi China meningkat menjadi 1,411 miliar jiwa pada tahun lalu, atau naik sebanyak 72 juta jiwa dari 2010. Statistik juga menunjukkan, 12 juta bayi lahir di China sepanjang tahun lalu, turun sebesar 18 persen dari 2019 yang jumlah kelahirannya mencapai 14,6 juta bayi.
Warga China berusa di atas 60 tahun berjumlah 264 juta jiwa, atau sekira 18,7 persen dari total penduduk negara itu pada 2020. Angka itu 5,44 persen lebih tinggi daripada 2010. Pada saat yang sama, penduduk usia kerja di Tiongkok turun menjadi 63,3 persen dari total dari 70,1 persen sepuluh tahun yang lalu.
Perubahan aturan dari satu anak menjadi dua anak hanya menyebabkan lonjakan sementara dalam jumlah kelahiran di China. Efek dari kebijakan itu mereda dengan cepat. Bahkan, jumlah kelahiran di negara itu terus menurun karena banyaknya perempuan yang terus memutuskan untuk tidak berkeluarga.
Jepang, Jerman, dan beberapa negara kaya lainnya juga menghadapi tantangan yang sama dengan China karena mereka memiliki lebih sedikit pekerja untuk mendukung populasi yang kian menua. Bedanya, negara-negara maju itu dapat memanfaatkan hasil yang mereka petik dari investasi di pabrik-pabrik, teknologi, dan aset asing. Sementara, China adalah negara berpenghasilan menengah dengan sektor pertanian dan manufaktur padat karya menjadi penopang utama.
Editor: Ahmad Islamy Jamil