HAVANA, iNews.id – Ribuan rakyat Kuba menggelar demonstrasi, Minggu (11/7/2021) waktu setempat. Mereka menuntut pengunduran diri Presiden Miguel Diaz-Canel atas krisis ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah.
Reuters melaporkan, unjuk rasa kali ini adalah aksi massa antipemerintah terbesar di negara komunis itu dalam beberapa dasawarsa terakhir. Protes meletus di tengah krisis ekonomi Kuba dan rekor lonjakan infeksi virus corona.
500.000 Warga Kamboja dan Thailand Mengungsi akibat Perang
Para demonstran menyuarakan kemarahan atas kekurangan barang-barang kebutuhan pokok, di samping pembatasan kebebasan sipil dan penanganan pandemi oleh pihak berwenang. Ribuan orang turun ke jalan di sejumlah kawasan di Ibu Kota Havana, termasuk pusat bersejarah.
Sambil berjalan kaki, mereka meneriakkan kalimat “Diaz-Canel mundurlah!”. Kata-kata itu seakan menenggelamkan aksi tandingan oleh kelompok pendukung pemerintah yang mengibarkan bendera Kuba dan meneriakkan “Fidel” (nama pemimpin besar Kuba, Fidel Castro—red).
2 Tewas dan 20 Luka dalam Aksi Unjuk Rasa Peringati Pembantaian di Sudan
Jip-jip pasukan khusus, dilengkapi dengan senapan mesin terpasang di bagian belakang, terlihat di seluruh Havana. Polisi dikerahkan dalam jumlah besar, bahkan lama setelah sebagian besar pengunjuk rasa membubarkan diri pada pukul 21.00, sehubungan jam malam yang diberlakukan karena pandemi.
“Kami sedang melalui masa-masa yang sangat sulit. Kami membutuhkan perubahan sistem,” ujar Miranda Lazara (53), seorang guru tari yang ikut bergabung dalam unjuk rasa di Havana, dikutip Reuters, Senin (12/7/2021) WIB.
Massa Islam Gelar Demonstrasi Kecam Aksi Brutal Israel
Diaz-Canel, yang juga mengepalai Partai Komunis Kuba, pada Minggu sore menyalahkan Amerika Serikat atas aksi demonstrasi tersebut. AS memang menjadi musuh lama Kuba sejak era Perang Dingin. Washington DC pun dalam beberapa tahun terakhir memperketat embargo perdagangannya—yang telah berlangsung puluhan tahun—terhadap Havana.
Unjuk Rasa Besar-besaran di Berbagai Negara Kecam Israel
Diaz-Canel menuturkan, banyak pengunjuk rasa yang turun ke jalan dengan niat yang tulus. Sayangnya, kata dia, mereka dimanipulasi oleh kampanye media sosial yang diatur AS dan “para tentara bayaran” di lapangan. Dia pun memperingatkan, pemerintah tidak akan menoleransi provokasi lebih lanjut.
Beberapa saksi Reuters di Havana melihat aparat keamanan yang dibantu oleh polisi berpakaian preman menangkapi sekitar 24 pengunjuk rasa. Polisi juga menggunakan semprotan merica dan memukul beberapa pengunjuk rasa serta seorang fotografer yang bekerja untuk Associated Press.
Di satu daerah Havana, pengunjuk rasa melampiaskan kemarahan mereka pada mobil polisi yang kosong, menggulingkannya dan kemudian melemparkan batu ke arahnya. Di tempat lain, mereka meneriakkan “Dasar penindas!” kepada polisi anti huru-hara.
Di Kuba, aksi protes massa biasanya dibatasi oleh penguasa. Akan tetapi, demonstrasi antipemerintah di negara kepulauan Karibia berpenduduk 11 juta jiwa itu telah meningkat selama setahun terakhir, meski jumlahnya tidak terlalu signifikan.
Demonstrasi antipemerintah kemarin adalah yang terbesar di Kuba sejak musim panas 1994, kata Michael Bustamante, asisten profesor sejarah Amerika Latin di Florida International University.
Demonstrasi akhir pekan itu meletus sekitar tengah hari di Kota San Antonio de los Banos di Provinsi Artemisa, yang berbatasan dengan Havana. Video di media sosial menunjukkan, ratusan warga meneriakkan slogan-slogan antipemerintah dan berbagai macam tuntutan, mulai dari vaksin corona hingga penghentian pemadaman listrik yang terjadi setiap hari di Kuba.
“Saya baru saja berjalan-jalan di kota untuk membeli makanan. Ternyata ada banyak orang di sana (berunjuk rasa)... Mereka memprotes pemadaman (listrik), juga ketiadaan obat (Covid),” kata penduduk setempat, Claris Ramirez, melalui telepon kepada Reuters.
Editor: Ahmad Islamy Jamil
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku