Sisi Gelap di Balik Kemewahan Dubai UEA, Mirisnya Kehidupan Buruh Migran
JAKARTA, iNews.id - Ada saja sisi gelap di balik kemewahan Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), yang belum banyak terekspos. Dubai, salah satu kota modern di UEA, terkenal gemerlap dengan ikonnya Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia.
Jika mendengar Dubai, hal yang terbayang adalah kemewahan dan keraturan. Kota ini memang dikenal memiliki taraf hidup tinggi, dibuktikan dengan gedung-gedung tinggi yang banyak. Dubai sekaligus mengubah wajah Arab yang identik dengan padang pasir yang gersang menjadi kota surga.
Tak heran jika saat ini Dubai menjadi destinasi pariwisata internasional di samping juga pusat perdagangan dan keuangan.
Sebagaimana diketahui UEA merupakan salah satu negara yang jumlah warga negaranya lebih sedikit ketimbang pendatang asing yang memegang status penduduk tetap. Berdasarkan data pada 2013, jumlah total penduduk UEA mencapai 9,2 juta jiwa, sebanyak 1,4 juta merupakan warga lokal dan 7,8 juta adalah ekspatriat. Berdasarkan data pada 2020, jumlah total penduduk UEA mencapai 9,9 juta jiwa.
Namun sebagaimana kota gemerlap lainnya di dunia, ada saja sisi gelap dari Dubai. Ada beberapa lokasi di kota itu yang jauh dari kehidupan taraf tinggi. Ketimpangan sosial juga terjadi di kota ini, terutama dialami pekerja migran.
Salah satu daerah di Dubai, Sonapur, menjadi tempat tinggal puluhan ribu pekerja migran. Sonapur berasal dari bahasa India yang artinya emas. Namun tidak seperti namanya, tempat ini jauh dari kemewahan seperti di pusat kota Dubai.
Para pekerja migran di Sonapur sebenarnya punya peran besar membangun Dubai, namun banyak dari mereka yang menerima upah rendah. Selain itu kondisi kerja mereka tergolong sangat berat. Pada musim panas, suhu di Dubai bisa mencapai 50 derajat Celcius namun mereka tetap harus bekerja sebagai buruh bangunan gedung-gedung. Mereka bisa bekerja hingga 14 jam sehari.
Para pekerja migran di Sonapur umumnya berasal dari India, Bangladesh, India, China, dan Pakistan. Lantas bagaimana mereka bisa terjebak? Awalnya mereka dijanjikan mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi, namun sesampainya di sana tak sesuai harapan. Bahkan para pemula harus rela menerima gaji yang setelah dikonversi sekitar Rp2,7 juta per bulan. Sisa bayaran biasanya untuk membayar agensi yang memberangkatkan mereka.
Begitu tiba di Dubai, seluruh dokumen keimigrasian dan perjalanan, termasuk paspor, disita oleh pengguna jasa kemudian mereka diarahkan ke Sonapur. Para pekerja diberi akomodasi oleh perusahaan yakni kamar berukuran kecil yang bisa diisi 6 sampai 8 orang.
Untuk menunjang kehidupan di Dubai, tidak sedikit dari mereka yang mencari sampingan dengan membuka warung makanan di malam hari.
Sebenarnya Artikel 25 Undang-Undang Dasar UEA mengamanatkan perlakuan sederajat terhadap semua warga negara tanpa memandang ras, kebangsaan, kepercayaan, atau status sosial. Namun data Human Right Watch mengungkap, sebagian besar dari 250.000 buruh migran di Dubai tinggal dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Disebutkan mereka tinggal hingga 8 orang dalam satu kamar sempit. Di samping itu, dengan gaji yang minim, mereka masih harus mengirim uang kepada keluarga di negara asal.
Dalam kejadian pada 21 Maret 2006, pekerja konstruksi Burj Khalifa melakukan protes atas buruknya kondisi kerja dengan merusak fasilitas seperti mobil, komputer, serta alat-alat konstruksi.
Editor: Anton Suhartono