Sosok Hasan Akhund, Perdana Menteri Afghanistan yang Baru
JAKARTA, iNews.id - Taliban menunjuk Hasan Akhund sebagai perdana menteri Afghanistan sementara. Terpilihnya Akhund di luar dugaan karena para pengamat menduga Abdul Ghani Baradar, negosiator ulung Taliban, yang berpeluang menduduki posisi kepala pemerintahan.
Akhund termasuk sosok yang menarik namun relatif misterius di Afghanistan. Meski demikian perannya di Taliban sangat berpengaruh sejak lahirnya kelompok itu pada 1990-an.
Tidak seperti para pemimpin Taliban lainnya, dia tidak terlibat dalam perang melawan Uni Soviet pada 1980-an. Sementara pendiri Taliban seperti Mohammad Omar (Mullah Omar) mengangkat senjata bersama mujahidin.
Peran Akhund lebih kentara sebagai pemberi nasihat di Taliban. Dia bertugas di dewan syura, badan pengambilan keputusan tertinggi yang terdiri dari para ulama dan mullah. Posisi itu tentu hanya diberikan kepada mereka yang memiliki pemahaman syariat Islam yang tinggi.
Akhund memang sempat menjabat Menteri Luar Negeri Afghanistan saat Taliban berkuasa pada 1996-2001, namun perannya lebih pada pengembangan identitas keagamaan kelompok tersebut. Seperti Mullah Omar, dia dididik di lingkungan ideologi Islam yang ketat, dikenal sebagai Deobandisme.
Setelah Taliban digulingkan dari pemerintahan Afghanistan pada 2001, sosok Akhund tetap berpengaruh, meski dia beraktivitas dari pengasingan di Pakistan. Dari sana dia akan memberikan bimbingan spiritual dan agama kepada Taliban pada 2000 dan 2010-an. Dia mengeluarkan fatwa untuk melawan invasi Amerika Serikat serta pemerintah Afghanistan yang didukung Barat.
Sebagai sosok cendekiawan agama konservatif, Akhund juga memberi perhatian terhadap aktivitas perempuan. Fatwanya pada 1990-an diadopsi Taliban, termasuk pembatasan pendidikan bagi perempuan serta aturan berpakaian.
Naiknya Akhund sebagai perdana menteri memicu kekhawatiran bahwa Afghanistan akan kembali membatasi secara ketat peran perempuan. Namun Taliban berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahan kali ini akan lebih toleran.
Pada 5 September lalu otoritas pendidikan di bawah pemerintahan Taliban mengeluarkan keputusan soal aktivitas dan penampilan perempuan di kampus, seperti wajib mengenakan niqab. Selain itu sebisa mungkin kelas dipisah antara laki-laki dan perempuan atau jika tidak memungkinkan ruangan disekat dengan tirai.
Editor: Anton Suhartono