Trump Ubah Nama Departemen Pertahanan AS Jadi Departemen Perang, Ini Alasannya
WASHINGTON, iNews.id - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana untuk mengubah nama Departemen Pertahanan (Department of Defense/DoD) kembali menjadi Departemen Perang (Department of War). Keputusan kontroversial ini, menurut Trump, akan direalisasikan dalam beberapa pekan mendatang.
Trump menyebut langkah tersebut bukan sekadar perubahan simbolik, melainkan pengembalian pada akar sejarah militer AS.
Pentagon, yang selama ini menjadi markas besar Departemen Pertahanan, awalnya memang bernama Departemen Perang sejak didirikan oleh Presiden pertama AS, George Washington, pada 1789. Nama itu baru berubah menjadi Departemen Pertahanan pada 1947, setelah lebih dari satu setengah abad digunakan.
“Kita menyebutnya Departemen Pertahanan, tapi saya kira kita akan mengubah namanya,” ujar Trump, di Gedung Putih, dikutip dari Sputnik, Selasa (26/8/2025).
“Kita memenangkan Perang Dunia I, Perang Dunia II. Namanya dulu Departemen Perang dan memang begitulah adanya. Pertahanan hanyalah bagian dari itu,” lanjutnya.
Trump mengaku sudah membicarakan rencana ini dengan sejumlah pejabat tinggi pemerintahannya. Dia meyakini, istilah “perang” lebih mencerminkan realitas fungsi utama Pentagon dalam sejarah panjang Amerika, ketimbang sekadar “pertahanan” yang terkesan defensif.
Menurut catatan sejarah, Pentagon terakhir kali menyandang nama Departemen Perang pada 1947, sebelum diganti sebagai bagian dari restrukturisasi pasca-Perang Dunia II dan awal Perang Dingin. Nama baru tersebut kala itu dipilih untuk menekankan strategi pertahanan dan pencegahan konflik di tengah meningkatnya ketegangan global.
Meski begitu, langkah Trump kali ini diprediksi akan menuai perdebatan, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Sebab, perubahan nama itu dinilai bisa memengaruhi citra Amerika Serikat di dunia, apakah sebagai negara yang lebih menekankan upaya diplomasi dan pertahanan, atau justru negara yang semakin menonjolkan kekuatan militernya.
Editor: Anton Suhartono