Wow! Utang AS Cetak Rekor Rp571.138,6 Triliun, Setiap Detik Tambah Rp1,2 Miliar
WASHINGTON, iNews.id - Utang Pemerintah Amerika Serikat mencapai rekor baru yakni menembus 35 triliun dolar AS atau sekitar Rp571.138,6 triliun, demikian diumumkan Komite Anggaran DPR, Senin (29/7/2024).
Angka tersebut berarti, setiap warga AS menanggung utang 104.497 dolar (sekitar Rp1,7 miliar) atau setiap rumah tangga menanggung 266.275 dolar (Rp4,3 miliar). Selama 12 bulan terakhir, utang meningkat sebesar 2,35 triliun dolar dengan level kenaikan setara dengan 74.401 dolar (Rp1,2 miliar) per detik.
Ketua Komite Anggaran DPR AS yang juga politikus Partai Republik Jodey Arrington menyebut utang tersebut sebagai tonggak sejarah yang mengkhawatirkan. Dia mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan fiskal serta meredam pengeluaran guna menangani pertumbuhan utang.
"Hari ini, kita berduka atas tonggak sejarah kemerosotan fiskal paling hebat yang tak bisa dipercaya sepanjang sejarah bangsa," kata Arrington, seraya berharap Partai Republik akan mampu meredam kondisi jika Donald Trump memenangkan pilpres AS pada November mendatang.
Dia menegaskan, kepemimpinan Partai Republik di AS pada 2025 menjadi harapan terbaik sekaligus terakhir untuk memulihkan beban fiskal yang sudah telanjur rusak.
Utang nasional AS meroket dalam beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden maupun pendahulunya, Trump. Saat Trump meninggalkan Gedung Putih pada 2021, utang AS naik sebesar 8,4 triliun menjadi 27,7 triliun dolar. Lebih dari setengah dari utang itu dihabiskan untuk penanganan pandemi Covid-19. Tren tersebut berlanjut di bawah pemerintahan Biden yang saat ini telah melampaui 35 triliun dolar.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan lalu mengkritik ketidakselarasan kebijakan fiskal AS. Lembaga itu menyebut defisit anggaran dan tingkat utang AS semakin meningkatkan risiko bagi perekonomian global.
"Defisit dan utang yang begitu tinggi meningkatkan risiko semakin besar bagi perekonomian AS dan global, berpotensi meningkatkan pembiayaan fiskal serta meningkatkan risiko terhadap kelancaran pelunasan kewajiban yang jatuh tempo," bunyi pernyataan IMF.
Editor: Anton Suhartono