Dua Gubernur Jakarta dari Tanah Sunda, Nomor 1 Jenderal Baret Ungu Tegas Tanpa Kompromi!
JAKARTA, iNews.id - Dalam sejarah kepemimpinan DKI Jakarta, dua tokoh kelahiran Tanah Sunda pernah menjabat gubernur kota terbesar Indonesia ini. Satu di antaranya jenderal legendaris yang dikenal sangat tegas dan tanpa kompromi. Siapa dia?
Berdasarkan sejarah, Jakarta bermula dari pelabuhan kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun lalu. Pelabuhan kecil ini, sebagaimana ditulis dalam laman situs resmi DKI Jakarta, bertransformasi menjadi pusat perdagangan internasional yang mempertemukan ragam bangsa di dunia.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Jakarta menjadi pusat kegiatan politik dan pemerintahan pada masa awal kemerdekaan. Selanjutnya pada 1966 secara resmi menjadi Ibu Kota Negara. Kota yang dulunya bernama Sunda Kelapa ini pun berkembang pesat dengan dibangunnya lokasi bisnis, akomodasi, hingga kedutaan besar bagi negara sahabat.
DKI Jakarta genap berusia 497 tahun tepat ada 22 Juni 2024 lalu. Silih berganti tokoh pernah memimpin kota berpenduduk 11.135.191 jiwa ini (sensus semester I 2024). Pada November mendatang, Jakarta akan kembali mencari penguasa pemerintahan.
Tiga pasangan calon bersaing untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Mereka yakni Ridwan Kamil-Suswono (pasangan nomor urut 1), Dharma Pongrekun-Kun Wardana (2) dan Pramono Anung-Rano Karno (3).
Dari tiga pasangan calon ini, Ridwan Kamil sempat diterpa isu tajam karena statusnya yang mantan gubernur Jawa Barat. Arsitek kelahiran Bandung itu dianggap sebagai pendukung sejati Persib, rival Persija klub kebanggaan Jakarta.
Bila melihat lintasan sejarah, Jakarta sesungguhnya pernah dipimpin tokoh kelahiran Tanah Sunda (Jawa Barat). Mereka mewarnai perjalanan kota yang pada era kolonial bernama Batavia ini dengan beragam terobosan dan prestasinya. Langkah dan ide-ide dua gubernur ini pun menjadikan Jakarta terus berevolusi menjadi kota modern, megapolitan dan bereputasi dunia.
Selanjutnya dua gubernur kelahiran Tanah Sunda yang pernah memimpin Jakarta.
Pantas bila Ali Saidikin dikenang sebagai gubernur yang ikonik dan legendaris. Dia dikenal bukan hanya karena beragam terobosan dan pembangunan yang dilakukan semasa memimpin Jakarta, tapi juga sosoknya yang keras. Jenderal bintang tiga KKO-AL (kini mariner) itu dikenal sangat tegas, tanpa kompromi.
“Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah,” kata budayawan Goenawan Mohammad dalam buku ‘Catatan Pinggir 9: Kumpulan Esai Catatan Pinggir Goenawan Mohamad’, dikutip Rabu (9/10/2023).
Goenawan mengenang sikap keras Ali. Suatu ketika sang gubernur datang mendadak ke Lapangan Banteng, tempat bus-bus kota parkir dan puluhan calo bergentayangan. Ketika dia menghadapi seorang calo yang sangat menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju. “Orang itu terjerembap,” tulis GM.
Ali semasa muda bercita-cita menjadi pelaut. Pria yang kelak akrab disapa Bang Ali itu lantas masuk sekolah pelayaran di era penjajahan Jepang. Di zaman kemerdekaan, Ali masuk BKR-Laut, cikal bakal TNI AL. Karier militernya diisi dengan berbagai penugasan.
Pria berperawakan tinggi dan berwajah tampan ini pernah menjabat Wadan Resimen Samudera Pasukan CA IV (1949), Perwira Operasi CA IV/Pasukan SWK.S V, Wakil Panglima KKO AL (1950–1953), Danpusdiklat KKO AL (1954–1959), dan Deputi II Panglima Angkatan Laut (1959-1963).
Bung Karno menunjuknya sebagai Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja IV pada kurun 1963 hingga 1964. Setelah itu dia jadi Menteri Koordinator Kompartimen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (1964–1966). Pada 1966 Ali ditunjuk sebagai Gubernur KDH DKI Jakarta.
Selama menjabat gubernur, berbagai kebijakan dan tindakan ikonik dilakukannya antara lain pembangunan Taman Ismail Marzuki, Kebon Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Institut Kesenian Jakarta dan lainnya. Purnawirawan bintang tiga ini meninggal di Singapura pada 20 Mei 2008.
Anies Baswedan lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969 dari pasangan Rasyid Baswedan (Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia) dan Aliyah (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta). Kendati lahir di Tanah Priangan, Anies dibesarkan di Yogyakarta karena ayahnya yang dosen di sana.
Mengutip blog pribadinya, masa kecil Anies tak lepas dari sentuhan kakeknya, AR Baswedan. Sang kakek tak lain pahlawan nasional yang dikenal karena memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia dari negara-negara di Timur Tengah.
Sebagian besar karier Anies berkutat di dunia kampus dan organisasi nonpemerintah. Lulusan FE UGM ini didaulat sebagai Rektor Paramadina pada 15 Mei 2007. Komitmen dan berbagai prestasi membawanya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014.
Jabatan itu hanya berumur dua tahun. Dalam reshuffle kabinet, suami dari Fery Farhati ini digantikan Muhadjir Effendy. Tapi perjalanan hidup akhirnya membawa dia dalam pusaran kontestasi Pilkada Jakarta 2017. Duet Anies-Sandiaga Uno terpilih sebagai penguasa Ibu Kota.
Anies, dengan beragam pengalaman dan kemampuannya di bidang penataan kota serta kebijakan publik, menegaskan Jakarta tidak hanya kota global, tapi juga smart city. Berbagai pembangunan monumental dilakukan, seperti Kampung Akuarium, revitalisasi pasar tradisional, hingga penutupan Hotel Alexis yang diduga sarang prostitusi.
Pembangunan ikonik lainnya yakni penataan pedestrian, taman kota, hingga transportasi publik. Kemudian perumahan DP nol persen, penanganan Covid-19 dan tentu saja paling ikonik, mewujudkan stadion kelas dunia: Jakarta International Stadium (JIS).
“Berbagai kebijakan dan strategi ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kota, untuk memenuhi janji kampanye Pilkada 2017 yang mengusung tagline ‘Maju Kotanya, Bahagia Warganya’,” kata Nico Andrianto dalam buku Rekam Jejak Anies di Jakarta.
Editor: Rizky Agustian