Kisah Kemal Idris Si Jenderal Sampah, Mengadu ke Presiden Soeharto Gara-gara Dipungli di Jakarta
JAKARTA, iNews.id - Tokoh militer Indonesia, Letjen TNI (Purn) Kemal Idris dijuluki "jenderal sampah". Ternyata, ada cerita di baliknya hingga dia terkena pungutan liar (pungli) dan mengadu ke Presiden Soeharto.
Mantan Pangkostrad pada tahun 1967 ini menceritakan, dirinya dijuluki jenderal sampah berawal dari setelah pensiun dari militer. Dia sempat bergabung di Griyawisata, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Namun, dia kemudian tidak aktif lagi di sana.
Kemal Idris memilih mendirikan sebuah perusahaan baru bernama PT Sarana Organtama Resik (SOR). Jabatannya di sana sebagai direktur utama. Dia mendirikan perusahaan itu bersama temannya warga negara asing (WNA) Inggris bernama Michael Croff yang beristri Lilie Moenir, seorang penulis.
"Michael Croff yang menjadi asisten saya itu memang ahli dalam soal sampah, berpengalaman membersihkan sampah di Riyadh (Arab Saudi), New York, dan beberapa kota besar lainnya di dunia," kata Kemal Idris dikutip iNews.id dari buku memoarnya, Bertarung dalam Revolusi.
Panglima Kowilhan IV/Sulawesi periode 1969–1972 ini mengatakan, latar belakang berdirinya SOR karena prihatin melihat kondisi Kota Jakarta yang penuh dengan sampah. Saat itu, tidak ada yang mau mengulurkan tangan untuk mengatasinya.
"Dilihat dari sisi sampah, maka Jakarta tampaknya tidak layak huni. Di mana-mana ditemukan unggukan sampah disertai bau yang menyengat hidung. Itu terjadi karena sampah telah beberapa hari tidak diangkat sehingga mengganggu kesehatan, ketertiban dan kenyamanan lingkungan," katanya.
Kemal Idris kemudian mendirikan SOR di tengah masyarakat untuk mengatasi masalah sampah. Dia ingin terlibat dan ikut membantu Gubernur menertibkan sampah hingga kota Jakarta dapat menjadi layak huni.
Selain itu, dia meyakini SOR dapat membuka lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya bagi mereka yang ingin bekerja, terutama bagi mereka yang putus sekolah atau tidak mempunyai ketrampilan lainnya.
Di saat itu, Kemal Idris menyadari betul, ada anggapan orang bahwa mengangkut sampah adalah pekerjaan yang tidak manusiawi. Padahal, mereka tidak tahu bahwa hasil yang diperoleh dari keringat sendiri itu betul-betul halal.
Kemal Idris mengatakan, saat itu dirinya sering turun ke lapangan. Dia akrab dengan karyawan. Dari sini pula, beberapa orang yang mengetahui kepeduliannya terhadap masyarakat yang bekerja membersihkan sampah itu menjulukinya “Jenderal Sampah”.
"Tidak pernah ada dalam sejarah, pensiunan Jenderal mengurus sampah, dan bergaul dengan kalangan bawah. Saya tidak peduli dengan omongan orang, jika saya yakin apa yang saya lakukan itu baik dan membantu banyak orang," katanya.
Namun, pria kelahiran 10 Februari 1923 di Singaraja, Bali, ini punya prinsip. Untuk memperoleh hasil yang halal itu tidak harus memilih jenis pekerjaan, melainkan dari pekerjaan itu akan mendapatkan imbalan guna menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Apa yang mereka peroleh itu merupakan keuntungan yang diraih oleh perusahaan. Tetapi perusahaan ini bukan mengejar keuntungan yang besar untuk mengumpulkan dana yang banyak, melainkan cukup untuk meningkatkan daya gerak perusahaan mengatasi pembuangan sampah atau hal lainnya yang mengganggu kesehatan dan kenyamanan kota," katanya.
Kemal Idris mengatakan, di zaman itu, pegawai terendah sekali akan menerima gaji Rp180.000 per bulan. Mereka juga mendapatkan asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja dan diberikan uang simpanan tiap bulan sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Jika ia seorang pegawai yang berkedudukan lebih tinggi setingkat dan seterusnya akan mendapat imbalan sesuai dengan jenjang kepegawaiannya.
Di PT SOR, karyawan yang bekerja berjumlah 700 orang. Pertama kali berdiri karyawannya hanya 300 orang plus 60 mobil sampah. Investasi dana pada pekerjaan semacam ini Rp1,7 miliar.
Kemal Idris yang mengakui, dia sebenarnya ingin menghentikan proyek itu. Persoalannya, selama bekerja dua tahun, dia hanya mendapat untung Rp5 juta.
Dalam sebulan, dirinya hanya memperoleh Rp100.000. Apalagi untung yang diharapkan 10 persen. Kadang-kadang yang diperoleh hanya 1 persen.
"Akan tetapi, kemudian saya berpikir lagi. Andaikata PT SOR saya tutup, kasihan karyawan saya yang berjumlah 700 orang. Mau di kemanakan mereka? Pasti mereka akan menganggur," kata Kemal Idris.
Dengan pertimbangan itu, Kemal Idris tidak menutup perusahaannya. Dia berkeinginan keras memberantas sampah dan menciptakan kenyamanan kota. Namun, dia selalu saja saya menemukan hambatan-hambatan.
Kemal Idris mengaku sering jadi korban pungutan liar (pungli). Dia merasa diperas dan dipersulit oleh birokrasi dimulai dari tingkat kelurahan.
"Saya merasa diperas oleh birokrasi karena harus banyak mengeluarkan uang di setiap kelurahan. Hambatan itu terletak pada birokrasi Pemerintah Kota Jakarta sehingga program perusahaan kadang kala mengalami kemacetan," katanya.
Dia bercerita, untuk satu pekerjaan saja terkait pengelolaan sampah, harus mengumpulkan tanda tangan satu kelurahan.
"Saya tidak mengada-ada. Saya mengalami sendiri betapa birokrasi di Indonesia, terutama di Jakarta, sangat parah. Untuk mengerjakan suatu pekerjaan, saya harus mengumpulkan 22 tanda tangan pada satu kelurahan," katanya.
Padahal, saat itu Kemal Idris memerlukan tanda tangan di 27 kelurahan. Itu berarti, dirinya harus memperoleh 154 tanda tangan. Jika salah satu tanda tangan kurang, berarti dana yang dia usahakan tidak dibayar.
"Sulit membayangkan, setiap kali memperoleh tanda tangan, saya harus mengeluarkan uang Rp50.000 sampai dengan Rp150.000. Misalkan untuk satu tanda tangan saya harus membayar Rp100.000, maka untuk satu proyek, saya harus mengeluarkan uang Rp15.400.000," katanya.
Bagi Kemal Idris, hambatan pungli yang dia alami sungguh kenyataan yang sangat ironis. Mentalitas pelaku pungli benar-benar sangat bobrok. Apalagi, perusahaannya tidak mengejar keuntungan yang berlebihan.
"Bahkan saya sendiri sebagai direktur tidak menuntut harus menerima gaji dari perusahaan. Misalnya saja, dalam dua tahun, perusahaan hanya memperoleh keuntungan lima juta rupiah dan hasil itu pun dimanfaatkan untuk semua kepentingan karyawan." katanya.
Karena kecewanya, Kemal Idris mengadukan soal dirinya yang dipungli kepada Presiden Soeharto. Dia menceritakan banyaknya hambatan yang dia alami.
"Suatu hari di bulan Desember 1993, dalam suatu pertemuan, saya bertemu dengan Pak Harto. Apa yang saya alami, saya sampaikan kepada Bapak Presiden," kata Kemal Idris.
Rupanya Presiden Soeharto pun mengakuinya. Bahkan, dia menyebutnya sebagai hambatan yang sangat parah.
"Memang, ini hambatan yang sangat parah. Ini harus diperbaiki, tetapi dari mana harus saya mulai?" kata Soeharto menjawab Kemal Idris.
Kemal Idris menjawab, perbaikan harus dimulai.
"Salah satu harus dimulai Pak, baru kemudian menyusul langkah selanjutnya. Pak Harto, banyak pejabat yang memberi proyek kepada kawan-kawan dan anak-anaknya," katanya.
"Ya, memang begitu keadaannya, itu yang harus diperbaiki," jawab Soeharto.
Kemal Idris mengatakan, untuk mengubah mentalitas pungli, kolusi dan korupsi itu harus dimulai dari atas. Kalangan atas harus memberi contoh yang baik kepada bawahannya. Jika kalangan atas itu dianalogikan dengan orang tua dan bawahan itu anak-anaknya, maka orang tua harus memberi teladan yang baik kepada anak-anaknya.
Editor: Maria Christina