Puskesmas Imbau Warga Tanah Baru Jangan Makan Tutut Selama Satu Bulan
JAKARTA, iNews.id – Tidak sedikit warga RW VII Tanah Baru, Kota Bogor, masih mengalami trauma saat memilih menu buka puasa setelah peristiwa keracunan massal, Sabtu (26/5/2018). Puskesmas Bogor Utara mengimbau kepada masyarakat di wilayah itu selektif memilih menu berbuka puasa, sekaligus meminta warga tidak mengonsumsi keong sawah (tutut) selama sebulan ke depan.
“Peristiwa keracunan ini jadi pembelajaran masyarakat agar lebih selektif memilih menu berbuka. Kalau bisa sebulan ini jangan dulu makan tutut khusus untuk warga Tanah Baru, untuk di luar Tanah Baru silahkan saja,” kata Kepala Puskesmas Bogor Utara Oki Kurniawan di Bogor, Senin (28/5/2018).
Alasan pelarangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya peristiwa serupa. Mengingat saat ini masih ditelusuri penyebab pasti keracunan yang dialami warga, apakah dari sumber tututnya, atau dari cara pengolahan yang tidak memenuhi syarat higienis dan sanitasi, maupun dari sumber air yang digunakan untuk memasak, dan membersihkannya.
"Kita juga tidak tahu, apakah ada pengaruhnya jika tutut yang tidak laku dijual diolah lagi dengan tutut baru akan memberi efek,” tuturnya.
Oki mengajak masyarakat khususnya para korban keracunan untuk tidak memilih menu makanan yang berisiko, seperti hidangan tutut atau keong sawah. Apalagi dikonsumsi sehari-hari selama Ramadan. Oki mengatakan, masyarakat harus memahami bahwa tidak semua makanan yang enak itu identik dengan baik dikonsumsi.
“Dalam pengolahan makanan perlu memperhatikan sanitasi dan higienitas yang menjadi syarat makanan itu aman dikonsumsi,” ujar Oki.
Diberitakan sebelumnya, lebih dari 85 warga Kampung Sawah, Kelurahan Tanah Baru mengalami gejala mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi hidangan tutut saat berbuka puasa. Warga terpaksa dibawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapat pengobatan.
Dibutuhkan waktu dua sampai tiga hari untuk memulihkan kondisi kesehatan warga dengan memberikan cairan infus, serta obat-obatan seperti norit, antimuntah, dan antibiotik.
Editor: Khoiril Tri Hatnanto