Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Farel Tarek Ungkap Keajaiban Laut Karimunjawa, 240 Spesies Ikan Hias dan Terumbu Karang Terawat
Advertisement . Scroll to see content

16 Tahun CTI-CFF: Terumbu Karang Masih Terancam Bom Ikan dan Coral Bleaching

Jumat, 23 Mei 2025 - 10:31:00 WIB
16 Tahun CTI-CFF: Terumbu Karang Masih Terancam Bom Ikan dan Coral Bleaching
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, CTI-CFF punya arti penting dan strategis bagi Indonesia saat acara 16th Anniversary of CTI-CPF and Coral Triangle Day 2025 di Jakarta, Kamis (22/5/2025). (Foto: iNews/Maria Christina)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) atau Prakarsa Segitiga Karang untuk Terumbu Karang, Perikanan dan Ketahanan Pangan telah memasuki tahun ke-16. Namun, enam negara anggotanya, Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste, masih menghadapi berbagai tantangan dalam merawat kawasan Segitiga Terumbu Karang. 

Direktur Eksekutif Sekretariat Regional CTI-CFF, Frank Keith Griffin mengatakan, tantangan tersebut di antaranya masih ditemukannya metode penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Nelayan menangkap ikan menggunakan bahan peledak seperti racun, bom dan dinamit.

"Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di keenam negara anggota. Saya bahkan baru saja menerima email minggu ini mengenai pengeboman ikan di wilayah timur Indonesia," kata Frank Keith Griffin dalam Media Gathering CTI-CFF & Coral Triangle Day 2025, Kamis (22/5/2025).

Dia mengatakan, metode penangkapan ikan dengan bom tidak hanya membunuh ikan, melainkan juga merusak terumbu karang yang dapat mengancam populasi ikan dan ekosistem laut. Nelayan pun kesulitan dan tidak akan menemukan lagi ikan di area yang dibom.

"Kalau nelayan mau mencari ikan, mereka harus keluar lebih jauh, dan semakin jauh mereka ke laut, semakin bahaya," kata Frank.

Untuk mencegahnya, CTI-CFF memberikan edukasi, menjalankan proyek-proyek untuk membantu para nelayan lokal agar benar-benar memahami ada konsekuensi dari tindakan mereka. Dengan begitu, ketika nelayan melaut dan menangkap ikan, mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak habitat ikan. Nelayan pun bisa kembali datang ke kawasan yang sama untuk mendapatkan ikan.

"Hari ini mereka bisa menangkap ikan, minggu depan kembali lagi dan mendapatkan ikan lagi, tahun depan pun masih bisa kembali ke tempat yang sama dan mendapat ikan lagi. Tapi jika tempat itu dirusak, lalu kembali lagi ke lokasi tersebut, mereka tidak akan menemukan ikan karena ikan tidak tinggal di sana lagi. Jadi itulah pekerjaan yang sedang kami lakukan," katanya. 

Selain itu, CTI-CFF masih menemukan kasus coral bleaching atau pemutihan terumbu karang yang berdampak signifikan terhadap kesehatan ekosistemnya.

Sementara Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya di acara yang sama juga mengatakan, Indonesia masih menghadapi tantangan di antaranya aktivitas manusia dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab seperti penangkapan ikan berlebih, destructive fishing, pencemaran laut yang disebabkan sampah plastik, serta bencana dan perubahan iklim, yang mengancam keberlanjutan sumber daya laut. Karena itu, dia menekankan pentingnya upaya perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan.

"Potensi dan tantangan perairan Indonesia memiliki kesamaan dengan kawasan segitiga karang yang memerlukan upaya perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan," kata Trenggono.

Trenggono pun menegaskan, bagi Indonesia, CTI-CFF memiliki arti penting dan strategis. Sebagai negara yang berbagi sekitar 65 persen wilayahnya masuk dalam coral triangle area, Indonesia bisa dikatakan sebagai jantung CTI-CFF.

"Indonesia, berbagi potensi dan tantangan yang serupa dengan keseluruhan wilayah Coral Triangle," ujarnya. 

Dia juga menekankan peran historis Indonesia dalam inisiatif ini, mengingat negara ini menjadi tempat deklarasi resmi CTI-CFF pada tahun 2009, yang dihadiri enam kepala negara dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Dalam momen bersejarah tersebut, Indonesia ditetapkan sebagai negara tuan rumah Sekretariat Regional CTI-CFF.

Coral Triangle dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Kawasan ini mencakup perairan enam negara dan menyimpan lebih dari 76 persen spesies terumbu karang dunia, sekitar 600 spesies, serta menjadi habitat bagi lebih dari 2.000 spesies ikan karang. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi spesies laut yang terancam punah seperti penyu, hiu karang, dan dugong, serta menjadi penopang kehidupan bagi lebih dari 120 juta orang.

"Laut Indonesia yang sebagian besar berada dalam kawasan segitiga karang mempunyai fungsi strategis, karena memengaruhi iklim dunia dan memiliki keanekaragaman hayati ikan dan biota laut yang sangat melimpah," kata Trenggono.

5 Kebijakan Ekonomi Baru sebagai Solusi

Menteri KKP mengatakan, sebagai solusi pengelolaan berkelanjutan potensi kelautan dan perikanan, Indonesia telah menerapkan lima kebijakan ekonomi biru. Kelimanya yakni, perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budidaya di laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan, pengawasan dan pengendaian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dan kelima, pembersihan sampah plastik melalui gerakan partisipasi nelayan atau Bulan Cinta Laut.

"Kebijakan ekonomi biru juga mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, mendukung visi Indonesia maju menuju Indonesia Emas 2045," kata Trenggono yang juga Ketua Dewan Menteri CTI-CFF itu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama perwakilan lima negara lain yang bergabung dalam CTI-CFF saat acara 16th Anniversary of CTI-CPF and Coral Triangle Day 2025 di Jakarta, Kamis (22/5/2025). (Foto: iNews/Maria Christina)
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono bersama perwakilan lima negara lain yang bergabung dalam CTI-CFF saat acara 16th Anniversary of CTI-CPF and Coral Triangle Day 2025 di Jakarta, Kamis (22/5/2025). (Foto: iNews/Maria Christina)

Ia menyebut, keberhasilan implementasi kebijakan ekonomi biru ini membutuhkan sinergi lintas sektor dan kerja sama antarnegara. Hal ini juga sejalan dengan Regional Plan of Action 2.0 (2020–2030) dari CTI-CFF, yang bertujuan menyeimbangkan antara konservasi ekosistem laut dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan ketahanan pangan.

Dua Inovasi Pendanaan

Untuk mendukung pembiayaan konservasi, Trenggono memperkenalkan dua inovasi pendanaan, yakni Indonesia Coral Reef Bond dan skema Debt for Nature Swap - The Tropical Forest and Coral Reef Conservation Act (DNS-TFCCA). Coral Reef Bond merupakan instrumen pendanaan yang bukan berasal dari pihak pemerintah dan non-utang serta risikonya ditanggung oleh Bank Dunia.

"Instrumen pendanaan ini diperuntukkan dalam mendukung peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, yang diukur menggunakan standar IUCN greenlight greenlist," ujar Trenggono.

Sementara DNS-TFCCA merupakan kebijakan skema pengalihan utang negara berkembang untuk dana konservasi lingkungan. Dalam hal ini terumbu karang di bawah Undang-Undang TFCCA (Tropical Forest and Coral Reef Conservation Act) pemerintah Amerika Serikat.

"Pendanaan adalah salah satu tantangan dalam pengelolaan berkelanjutan. Karena itu, kami mendorong inovasi pendanaan," ujar Trenggono.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut