5 Contoh Puisi Kritik Sosial, Singgung Masalah Kemiskinan hingga Korupsi
JAKARTA, iNews.id – Contoh puisi kritik sosial ini bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan. Pasalnya, puisi ini dapat mengguncangkan hati dan mengubah pandangan dunia pembaca.
Puisi kritik sosial adalah bentuk sastra dengan medium artistik yang kuat untuk mengungkapkan ketidakadilan yang ada di masyarakat. Dengan tujuan untuk mengkritik keadaan sosial mulai dari kemiskinan, ketidakadilan, hingga korupsi.
Selain itu, penyair dapat menyampaikan pesan-pesan yang sulit diungkapkan secara langsung dengan memakai bahasa metaforis, alegori, dan imaji yang kuat.
Salah satu tujuan utama puisi kritik sosial adalah untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap isu-isu sosial yang terabaikan atau diabaikan.
Dengan mengampanyekan persamaan, keadilan, dan solidaritas, puisi ini memiliki kekuatan untuk mengubah masyarakat menuju dunia yang lebih baik.
Oleh sebab itu, mempelajari puisi kritik sosial penting untuk meningkatkan kesadaran sosial di dalam masyarakat, serta mengembangkan kemampuan sastra dan bahasa yang cerdas dan kritis.
Berikut ini adalah contoh puisi kritik sosial yang bisa menjadi referensi atau sekadar untuk dinikmati, dikutip dari berbagai sumber, Jumat (3/11/2023).
Contoh Puisi Kritik Sosial
1. Demi Setetes Minyak Goreng
Karya Hendra Wattimena
Langkah sepatu menjilat jalan penuh debu
Dihentikan antrian panjang Ibu-Ibu
Yang sedang menunggu di depan mini market
Saling dorong hingga bergugurun peluh
Sedang di media,
Bapak-Bapak berdasi saling lempar kesalahan
Sesekali bergerutu
Hingga hujan jatuh
Dan langit perlahan-lahan runtuh
Lalu, air hujan berubah
Jadi minyak goreng
Membanjiri jalanan
Menenggelamkan keserakahan
Hutan ditebang
Pohon sagu diganti sawit berhektar-hektar
Orang hutan lari ke kota
Mati di atas tanah sendiri
Orang kota pergi ke hutan
Membabat habis pohon dan kayu
Minyak-minyak goreng disiram
Mengalir deras di kantong pejabat
Sedangkan rakyat kecil meringis
Demi setetes minyak
Ibu rela menunggu di antrian panjang
Sedang para preman pasar
Asik menimbun minyak di gudang
Diam-diam tertawa terbahak-bahak
Melihat keadaan lalu minyak-minyak itu
Dijual dengan harga tinggi
Akhirnya, Ibu-Ibu yang kurang darah
Dibuatnya naik darah
2. Suara dari Desa
Karya Atris Pattiasina
Surat terbuka kepada pemangku kebijakan
Amplop coklat kau nikmati dengan nafsu
Sedangkan mandat rakyat kecil kau tepis begitu saja
Dari pelosok negeri yang tak terjamah berteriak
Pembangunan macam apa yang kau impikan ?...
Lubang di jalanan ataukah kelaparan yang mematikan
Seperti tertidur pulas diatas rupiah rakyat
Atau kau memang sengaja mengantongi yang bukan hak mu
Miris bukan main kau anggap penyelewengan hanya hitam di atas putih
Jeritan rakyat desa menangis tertindas
Menceritakan tas merah hanya sebatas formalitas yang nampak
Berisikan sembako namun tatkala salah panah
Bara di meja politik membakar habis kemakmuran rakyat desa
Program demi program kau gulirkan
Mengatasnamakan kepentingan kami nyatanya kau itu loba
Hai pemangku kebijakan kembalikan pelumas desaku
Berapa banyak kwitansi dan nota palsu yang kau habiskan
Dengarlah suara rakyat kecil, jangan buta karena angka,
Jangan tuli akan jeritan, jangan serakah karena kepentingan.
Kepada tuan dan puan, kembalikan hak kami !!!
Bagi pembangunan yang merata.
Pulihkan ekonomi Indonesia lewat desa yang tertinggal.
3. Bendera-Bendera Partai
Karya Hendra Wattimena
Warna-warni menari
Pada tembok pembatas jalan
Merah, kuning, hijau dan biru
Beradu pada setiap tikungan jalan
Pada setiap jembatan
Melambai-lambai ditiup Bayu
Foto Bapak tersenyum manis
Foto Ibu menatap sinis
Kepak sayap di lampu merah
Saling bersaing antara anak para mantan
Merah biru, sesekali kuning
Pria tampan tersenyum manis
Sedang Ibu masih tetap menatap sinis
Pada setiap ruas jalan
Spanduk-spanduk berdiri
Terkoyak-koyak janji manis
Pencitraan di sana sini
Ibu menanam padi
Mematikan lagu lalu menari
4. Di Tengah Kota
Karya Theodora Ch. Tuakora
Di tengah kota yang ramai
Aku, ruang sepi terbengkalai
Tak henti aku melambai
Namun, yang kudapat hanyalah abai
Di tengah kota yang megah
Aku rerumputan hijau penuh nestapa
Setia tersenyum ramah
Namun, nyatanya aku hanya rumah untuk hama
Di tengah kota yang maju
Aku segelondong awan kelabu
Hadir sementara waktu
Namun, lekas sekali terusir gerutu
Namun, di tengah kota itu
Mimpiku beradu, doaku mengepul
Walau nista menghujamku
Aku takkan mundur, nyaliku takkan kusut
Aku percaya, aku bukan polusi di kota tengah itu
Masa depanku ada di situ
Di tengah kota itu.
5. Narasi Jalanan
Sepintas terdengar, seperti suara buih di bebatuan
Nadanya menyejukkan hati tanpa irama yang mati
Kau juga pasti terpesona sampai jatuh
Katanya selalu lembut dengan janji tanpa henti
Berusaha untuk meyakini walau hanya ilusi
Jalanan ini jadi saksi atas ucap dari lidah tak bertulang
Teriakkannya membabi buta sampai semua terpana
Tentang aku yang kalian butuhkan
Tentang aku bukan penipu 5 tahunan
Tentang aku adalah utusan
Jalanan ini menjadi bukti kuat
Teriak histeris, ramai bagai petir menggelegar hebat
Membius keraguan hati rakyat
Selalu begitu, dari dulu juga begitu, rakyat selalu terpikat
Perubahan hanyalah kursi manja di gedung mewah
Rakyat tetap begitu saja
Jalanan itu dulu hanyalah bukti peninggalan janji manis yang terasa pedis
Rakyat selalu dibutakan oleh paras dan rayuan tanpa batas
Sayang seribu sayang masih tertipu dengan nada merdu
Dalam irama nada yang selalu sama
Narasi jalanan hanyalah rayuan belaka, bagai pria menggoda pujaan hati
Selalu terbuai dan terjatuh, lalu mendekat kembali tanpa ragu walau tertipu lagi
Editor: Johnny Johan Sompotan