ATVSI: Multi Mux Jadikan Industri Penyiaran Sehat dan Kompetitif
JAKARTA, iNews.id - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mendorong DPR dan pemerintah menggunakan konsep multi mux operator terkait pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi analog menjadi digital dalam RUU Penyiaran. Multi mux dinilai paling tepat karena akan melahirkan ekosistem penyiaran nasional yang sehat dibandingkan single mux.
Pentingnya sistem multi mux tesebut disampaikan Ketua Umum ATVSI Syafril Nasution dalam seminar Fraksi PPP DPR bertajuk 'Menyoal Regulasi dan Digitalisasi Penyiaran dalam Omnibus Law', di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7/2020). Menurut Syafril, banyak nilai lebih multi mux dibandingkan dengan single mux.
"Kami di industri mengharapkan sistem multi mux yang dipakai," kata Syafril.
Dia pun memaparkan sejumlah aspek yang membedakan antara kedua konsep tersebut. Dari jumlah operator, single mux hanya akan dikuasai satu badan hukum, yaitu Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI). Sementara jika multi mux, operator akan diserahkan kepada para industri yang tentunya tetap akan diatur pemerintah melalui tender maupun konsep-konsep lainnya.
Dari sisi persaingan usaha, Syafril menyebut single mux seolah-olah untuk melegalkan praktik monopoli. Dampaknya, sistem ini akan menciptakan persaingan usaha tidak sehat karena terjadinya posisi dominan. Dalam konteksi ini LPP RTRI akan menguasai seluruh proses produksi penyiaran.
"Nah ini kalau kita lihat di Pasal 2 dan Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai antimonopoli, itu sudah bisa dikatakan seperti monopoli, dikuasai oleh satu badan dan yang menentukan berapa biayanya. Ini akan tidak sehat," ujarnya.
Sebaliknya, jika konsep multi mux operator, ATVSI meyakini akan tercipta sistem penyiaran nasional yang sehat dan kompetitif. Sebab, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) bebas menentukan pilihan untuk bergabung dengan multifleksing yang diinginkan.
Dari sisi infrastruktur, konsep single mux juga memiliki kelemahan. Pemerintah pasti akan terbebani karena harus membangun infrastruktur di seluruh Indonesia. Belum lagi, kata dia, pembiayaan operasionalnya. Sementara multi mux, pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia diserahkan kepada pemegang mux tersebut dan ini akan mengurangi beban pemerintah.
Syafril juga menyoroti pengelolaan frekuensi. Dengan menggunakan konsep single mux, negara harus membayar kompensasi kepada LPS. Sebab, LPS ini sudah memegang suatu mux pada saat tender pada 2011. Jika single mux yang dipilih, investasi yang sudah dilakukan LPS ini akan diajukan kembali kepada pemerintah untuk dikembalikkan dan ini akan menjadi beban kepada pemerintah.
"Sementara kalau multi mux, tentunya ini memang sudah kita invetasikan lalu menjadi beban kita," tutur dia.
Syafril melanjutkan, jika dilihat dari standar layanan, single mux tidak memiliki benchmark. Mengingat hanya dikelola satu pihak, tidak bisa dinilai di mana sisi positif dan negatifnya. Berbeda apabila mengunakan konsep multi mux, jelas akan terlihat karena telah ada benchmark.
"Nah ini sumber masalah baru tentang sumber daya manusia. Kalau dengan single mux mau diapakan SDM yang sudah terserap di multi mux tadi. Ini perlu pertimbangan juga," ucapnya.
Editor: Zen Teguh