Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Ketua MPR Ungkap Peluang Amandemen UUD 1945 Masih Terbuka, tapi Tak Mudah
Advertisement . Scroll to see content

Bamsoet Dorong Percepatan Reformasi Agraria 

Kamis, 08 April 2021 - 16:40:00 WIB
Bamsoet Dorong Percepatan Reformasi Agraria 
Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam diskusi 'Konflik Agraria dan Perlindungan Tanah Adat Ditinjau dari UU Ciptakerja', secara virtual di Jakarta, Kamis (8/4/2021). (Foto: MPR).
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id  - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengingatkan, Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih tetap berlaku sebagai salah satu rujukan dalam mengatasi konflik agraria dan perlindungan tanah adat. Secara hierarki, kedudukan Ketetapan MPR berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Undang-Undang. Artinya, tidak boleh ada satu pun amanat mengenai pembaruan agraria dalam Ketetapan MPR tersebut yang tidak ditindaklanjuti.

"Hal ini dimaknai bahwa segala ketentuan Undang-Undang mengenai pembaruan agraria harus tunduk pada Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001. Tidak boleh ada satupun pasal atau substansi Undang-Undang yang bertentangan dengan muatan materi yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR tersebut," ujar Bamsoet dalam diskusi 'Konflik Agraria dan Perlindungan Tanah Adat Ditinjau dari UU Ciptakerja', secara virtual di Jakarta, Kamis (8/4/2021).

Turut hadir dalam diskusi ini antara lain Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jenderal TNI (Purn) Moeldoko dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Agus Andrianto.

Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, secara substansi, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 telah memotret berbagai persoalan yang menjadi isu utama dalam bidang pengelolaan agraria. Ketetapan tersebut secara tegas juga menugaskan DPR bersama Presiden untuk segera menindaklanjuti pelaksanaan pembaruan agraria, menjadikan Ketetapan MPR tersebut sebagai landasan kebijakan, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut.

Adapun terkait hak adat, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 juga mengamanatkan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria. Hal itu dilandasi kesadaran hak ulayat telah ada dan melekat dalam kehidupan masyarakat, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, amanat Ketetapan MPR tersebut juga selaras dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada prinsipnya menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

Meskipun Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/Tahun 2001 dinyatakan tetap berlaku, kata dia, namun hingga 2019 tindak lanjut terhadap amanat pembaruan agraria belum dapat direalisasikan. Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang sempat disusun pada 2019 pada akhirnya gagal disahkan menjadi Undang-Undang. 

“Kita mendorong agar DPR bersama pemerintah bisa menyelesaikan RUU Pertanahan dengan mengutamakan kepentingan rakyat," kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia ini menilai, lambatnya realisasi amanat Ketetapan MPR tersebut cukup ironis. Mengingat isu pembaruan agraria adalah salah satu persoalan krusial. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2020 telah terjadi 241 kasus konflik agraria dengan korban terdampaknya sebanyak 135.332 kepala keluarga. Termasuk korban kekerasan sebanyak 169 orang (19 korban dianiaya, 139 korban kriminalisasi dan 11 korban tewas).

Jika dihitung pada periode 2015 hingga 2020, jumlah konflik agraria di Tanah Air mencapai angka 2.288 kasus, dengan catatan jumlah korban dianiaya sebanyak 776 orang, 1.437 korban kriminalisasi, dan 66 korban tewas. Menurut dia, data ini menjadi catatan penting sekaligus keprihatinan bersama, bahwa di sebuah negara demokrasi yang mempunyai Pancasila, dengan luas wilayah daratan 1,9 juta kilometer persegi, masih banyak terjadi konflik agraria.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini melanjutkan, secara umum dapat dipetakan beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik pertanahan, antara lain adanya aturan yang masih tumpang tindih, penyelesaian birokrasi yang masih berbelit-belit, serta masih adanya dua kesenjangan yang mencolok.

"Terutama karena kesenjangan dan ketimpangan dalam penguasaan tanah. Di satu sisi sebagian kecil masyarakat menguasai ribuan atau bahkan jutaan hektar tanah, tetapi di sisi lain jutaan petani hanya memiliki rata-rata 0,3 hektar saja, dan bahkan lebih banyak lagi petani yang tidak memiliki tanah sama sekali, dan hanya menjadi petani buruh," ucap Bamsoet.

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut