Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Ketua MPR Ungkap Peluang Amandemen UUD 1945 Masih Terbuka, tapi Tak Mudah
Advertisement . Scroll to see content

Bamsoet Ungkap 5 Pendapat soal Wacana Amendemen UUD 1945

Selasa, 05 November 2019 - 19:47:00 WIB
Bamsoet Ungkap 5 Pendapat soal Wacana Amendemen UUD 1945
Ketua MPR Bambang Soesatyo menjadi keynote speech pada Seminar Nasional bertajuk ‘Refleksi 20 Tahun Pelaksanaan UUD NRI 1945’ oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Selasa (5/11/2019). (Foto: Istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai para para pendiri bangsa Indonesia sangat arif dan bijaksana dalam proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Mereka tidak melarang adanya amendemen yang dilakukan oleh generasi penerus bangsa terhadap konstitusi.

Menurut Bamsoet, para pendiri bangsa menyadari, konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat, mengingat tantangan yang dihadapi selalu berbeda dari satu generasi ke generasi selanjutnya. “Dalam kerangka itulah, pada tahun 1999 sampai 2002, MPR RI telah mewujudkan reformasi konstitusi Indonesia melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata dia di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

“Perubahan tersebut telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki babak baru yang mengubah sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” ujar Bamsoet.

Legislator Partai Golkar dari Dapil VII Jawa Tengah itu menjelaskan, berbagai perubahan konstitusi telah memberikan landasan yang kuat dalam mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. Kendati demikian, keberhasilan reformasi konstitusi menurutnya tidak menjamin apa yang dikehendaki oleh konstitusi dapat segera terwujud.

Itu karena pada tingkat implementasi dapat saja ditemukan kekurangan atau ketidaksesuaian, yang apabila dikaji justru bertentangan dengan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam konstitusi. “Misalnya, suksesnya Pemilu Serentak 2019 sebagai amanat UUD NRI 1945 Pasal 22E, patut kita syukuri. Namun, Pemilu Serentak 2019 masih menyisakan masalah, salah satunya polarisasi di dalam masyarakat,” katanya.

“Banyaknya berita bohong, ujaran kebencian, saling hujat sesama anak bangsa, saling fitnah, persekusi di media sosial yang terus berlanjut sampai sekarang adalah contoh-contoh yang tidak sesuai dengan makna yang terkandung dalam konstitusi,” ucap Bamsoet.

Contoh lainnya, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara demokratis seperti diatur di dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dalam praktiknya hanya ditafsirkan pemilihan kepada daerah secara langsung. Tafsiran tunggal semacam itu menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan melalui APBN atau APBD. Padahal, kondisi sosial masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan dan kesenjangan.

“Politik uang yang marak terjadi dalam pemilihan kepala daerah juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat,” tutur Bamsoet.

Tak heran, kata dia, setelah 20 tahun berjalan sejak dilakukan amendemen pertama pada 1999, kini mulai dirasakan masih ada ruang-ruang kosong dalam konstitusi. Itu karena penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan berjalan beriringan dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Dia mengungkapkan, ada berbagai pendapat soal konstitusi Indonesia saat ini. Pendapat pertama menginginkan agar konstitusi dikembalikan ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pendapat kedua menginginkan penyempurnaan melalui amendemen kelima. Selanjutnya, pendapat ketiga menginginkan perubahan menyeluruh UUD 1945 yang telah empat kali dilakukan perubahan.

“(Pendapat) keempat, menghendaki perubahan terbatas dengan menghadirkan kembali GBHN. Dan (pendapat) kelima menilai bahwa sistem ketatanegaraan kita pada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujar Bamsoet.

Terhadap berbagai pandangan tersebut, politikus Partai Golkar itu menerangkan, MPR mencoba menyikapinya dengan melakukan kajian secara cermat dan mendalam. Kalaupun pada akhirnya perlu dilakukan penataan sistem ketatanegaraan melalui amendemen UUD 1945 yang kelima, maka hakikat dari semangat pembentukan UUD oleh para pendiri bangsa harus tetap menjiwai rumusan perubahan kelima tersebut.

Pasal 37 UUD 1945 memang memberi kemungkinan adanya perubahan Undang-Undang Dasar. Akan tetapi, menurut dia, perubahan konstitusi tidaklah dapat dilakukan tanpa adanya kehendak dari rakyat selaku pemilik kedaulatan itu sendiri. “Sehingga untuk mengubahnya harus digunakan cara yang khusus dan prosedur yang lebih ketat apabila dibandingkan dengan prosedur untuk mengubah undang-undang,” katanya.

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut