Belajar dari Covid-19, New Normal Pendidikan
Dr Adjat Wiratma
Jurnalis dan Guru Relawan Sekolah Darurat Kartini
PANDEMI Covid-19 memaksa semua aktivitas dilakukan di rumah, termasuk proses belajar mengajar. Guru mengajar dari rumah, siswa belajar di rumah, kegiatan inilah sudah dijalani setidaknya dalam dua bulan terakhir.
Bukan hal yang mudah untuk beradaptasi, hampir setiap orang memulainya dengan kendala hingga berangsur-angsur terbiasa, bagi kebanyakan anak kegiatan belajar daring ini sudah menjadi kegiatan sehari-hari di masa pandemi. Begitu pula guru yang awalnya gagap teknologi dipaksa cepat menyesuaikan diri dengan beragam aplikasi, membuat video-video pembelajaran dan kegiatan lain untuk membangun kedekatan dengan muridnya yang berada di rumah masing-masing.
Adaptasi ini harus dilakukan untuk tetap memberikan hak pendidikan. Total belajar mandiri tidak dapat berjalan dengan sempurna, pasalnya literasi masyarakat kita yang masih rendah, sehingga kehadiran guru jelas tidak bisa digantikan oleh mesin apapun, perannya akan selalu hadir dan dibutuhkan, meski sarana dan bahan belajar saat ini sudah melimpah di dunia maya (internet).
Dengan demikian, proses belajar dari rumah tetap membutuhkan keaktifan guru agar masa belajar menjadi efektif, guru harus kreatif dan berinovasi walau di sana-sini banyak kekuarangannya.
Penguatan Tiga Pusat Pendidikan
Selain guru yang beradaptasi, para orang tua juga dibuat sibuk. Tidak hanya mengurus urusan rumah tangga, tanggung jawabnya bertambah dengan harus membantu menfasilitasi anak-anaknya agar bisa melakukan pembelajaran daring.
Bagi orang tua siswa dengan usia menengah ke atas mungkin tidak terlalu merasakan, tapi bagi yang punya anak sekolah dasar, urusan menjawab pesan di whatsapp hingga memastikan anak hadir depan komputer semua membutuhkan peran orang tua.
Dapat dibayangkan, keluarga yang jumlah anaknya lebih dari satu, rutinitas setiap pagi di rumah hangat dengan pembelajaran daring. Tidak semua orang tua siap, banyak dari mereka yang “pusing” karena jika biasanya meyerahkan semuanya urusan pendidikan anak kepada sekolah, kali ini mereka dituntut hadir dan dapat melayaninya langsung.
Belum lagi jika anak mendapatkan kesulitan dalam mencerna materi ajar, ayah atau ibunya yang pertama ditanya. Mau tidak mau harus siap, yang tentu menuntut orang tua harus kembali belajar.
Sejatinya pendidikan di rumah adalah pendidikan pertama dan utama, orang tua adalah gurunya, mereka tidak hanya harus menjadi teladan namun juga dituntut mampu mewujudkan sebuah kurikulum dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Saat pandemi melanda, ujian bagi peran orang tua pun sangat nyata.
Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan tiga pusat pendidikan yang membutuhkan kolaborasi erat ketiganya demi tercapainnya tujuan pendidikan. Pertama adalah sekolah (guru), kedua rumah (orang tua) dan ketiga adalah lingkungan (masyarakat). Jika saja selama ini kita semua memahami peran masing-masing dalam pendidikan ini, tidak butuh adaptasi lama bagi masyarakat untuk menitipkan kegiatan sekolah di rumah seperti sekarang.
Sinergi orang tua dan guru mutlak harus dilakukan, terlebih saat harus semua dilakukan di rumah, penentu suksesnya belajar ada pada dukungan orang tua. Baik sebagai fasilitator, mediator juga menjadi motivator.
Lebih jauh apa Bapak Pendidikan kita mengajarkan tentang kepemimpinan pendidikan, yakni Ing Ngarso Sung Tulodo (mampu memberikan teladan), Ing Madyo Mangun Karso (mampu membangkitkan atau menggugah semangat), Tut Wuri Handayani, (memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang) berlaku bagi semua pihak, termasuk orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Sayangnya, fakta tidak sedikit orang tua yang belum mampu berperan dengan baik, ada tipe orang tua yang tidak mau ambil pusing dengan urusan sekolah anak, semua diserahkan pada pribadi anak sendiri. Tidak heran jika banyak anak yang merasa tidak nyaman belajar di rumah karena minim dukungan.
Lalu ada tipe orang tua yang dengan alasan “sayang” mengerjakan semua soal yang harusnya dijawab anak untuk memenuhi tugas guru, yang demikian sedang mengajarkan ketidakjujuran, dan sikap tidak percaya diri pada anak mereka.
Persoalan demikian menjadi dilema, walau sejujurnya kondisi itu adalah gambar sehari-hari selama ini. Banyak dari orang tua yang sibuk bekerja dan tidak menaruh peduli dengan kegiatan anak-anaknya di sekolah, serta berangapan bahwa urusan belajar mengajar semata-mata pekerjaan seorang guru di sekolah.
Perlu disadari bahwa kegiatan di rumah sepanjang hari, telah mengubah perilaku kita, termasuk perilaku anak. Sebagian sekolah ada yang tetap menerapkan aturan anak belajar pada jam yang ditentukan dengan menggunakan segaram, namun ada pula yang melonggarkan aturan itu.
Standarnya memang tidak sama, yang membuat orang tua masing-masing keluarga juga punya ukuran masing-masing, terlebih tidak semua orang tua mengetahui standar nilai perilaku kehidupan sekolah anak-anaknya, guru pun lupa untuk menyampaikanya sedari awal. Apa yang terjadi? Muncul perilaku-perilaku baru.
Pertanyaannya, apakah perilaku baru itu baik atau justru sebalinya? Contoh kecil soal kebiasaan mandi di pagi hari yang dilakukan saat harus berangkat sekolah, tak sedikit orang tua yang melonggarkan kebiasaan ini. Atau, kebiasaan anak menonton tayangan, jika saat sekolah sedikit sekali waktu mereka untuk berada depan televisi atau komputer dan memegang handphone, sekarang sepanjang waktu bisa dilakukan, karena minimnya kegiatan lain yang dilakukan ayah dan ibunya di rumah bersama anak.
Dari contoh-contoh itu ingin disampaikan bahwa orang tua perlu memperhatikan hal itu, jangan sampai perilaku baru pada masa mendatang adalah anak menjadi malas, tidak semangat, jarang bergerak, dan hal lain (hasil dari mencontoh prilaku orang tua).
Hak Pendidikan Anak Marjinal
Tidak hanya soal penguatan peran orang tua, problematika dunia pendidikan menjadi semakin kompleks saat harus melakukan pemenuhan hak bagi anak-anak marjinal, termasuk mereka yang selama ini belajar di bawah asuhan lembaga swadaya masyarakat atau komunitas.
Di tengah keberlangsungan belajar daring, berita di media masa banyak mengangkat kisah guru dan siswa yang tidak bisa mengikuti tuntutan belajar daring, alasanya beragam ada yang karena jeleknya sinyal, juga karena alasan kemiskinan. Kisah inspiratif pun muncul saat guru memilih untuk berkeliling ke rumah-rumah banyak ditemukan.
Persoalan serupa juga dirasakan sebagain anak di Jakarta, mereka yang merasakannya adalah anak-anak warga miskin kota yang hidup di pinggiran. Mereka hidup seorang diri, bukan hanya soal belajar yang utama mereka butuh makan di saat semua dipaksa harus di rumah.
Satu langkah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menfasilitas anak belajar yakni dengan menayangkan program televisi di TVRI. Langkah ini sangat baik, dan dinilai mendukung pemenuhan hak anak terutama rakyat prasejahtera, karena tak mungkin warga marjinal itu mengakses internet atau menggunakan ragam flatform aplikasi belajar online, sekalipun gratis, mereka tidak punya alatnya.
Namun kritik muncul pada tayangan di tv nasional itu, untuk materi ajar siswa sekolah dasar sebaiknya tidak ada penyampaian materi yang terpotong iklan. Harus dipahami cara menangkap pelajaran anak itu berbeda, dan untuk anak-anak usia sekolah dasar mereka butuh fokus, sehingga jangan secara tiba-tiba saat belajar harus menonton iklan layanan Mas Menteri di tengah-tengah belajar, iklan bisa ditempatkan di awal sebelum dan di belakang setelah tayangan belajar secara utuh disampaikan.
Sementara, untuk mengatasi keterbatasan kuota para guru dan pemenuhan hak guru honorer, yang masuk dalam kelompok rentan akibat pandemi Covid-19. Kemendikbud telah melonggarkan penggunaan dana BOS. Bisa dipahami namun perlu dengan pengawasan yang ketat dan evaluasi penggunaan anggaran yang tepat. Ini semata-mata untuk memastikan semua kebijakan pemerintah terukur, tidak sporadis.
Lebih jauh dari itu, di tengah tuntutan zaman soal digitalisasi, soal pembelajaran jarak jauh, yang semua yang berbau kekinian, faktanya hari ini kondisi dunia pendidikan di Indonesia memang belum merata. Banyak faktor, bisa karena kewilayahan dan juga masalah kemiskinan. Soal pemerataan pendidikan baik layanan dan sarana prasarana tentu harus tetap menjadi perhatian, pandemi Covid-19 telah kembali mengugah kita bahwa persoalan pendidikan ini masih jauh dalam tuntutan kemajuan zaman.
Banyak kebijakan dan program strategis yang dapat dikembangkan pemerintah untuk menjawab tantangan di masa pascapandemi nanti. Masalah-masalah yang muncul salama masa kedaruratan ini dapat menjadi bahan berharga untuk melahirkan kebijakan solutif, yang pasti pendidikan ini bukan hanya urusan Mas Menteri, tapi juga para anggota DPR dan stakeholder.
Semua harus belajar dari Covid-19, termasuk soal pengakuan terhadap keberadaan kelompok-kelompok rentan yang butuh perhatian dan penanganan serius. Mengingatkan kembali, salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mewujudkannya bidang pendidikan memegang peranan penting. Pandemi ini yakin akan berakhir, dan akan melahirkan kedaan yang disebut new normal, harapan besar kenormalan baru itu bisa mengikis masalah-masalah klasik pendidikan selama ini.
Editor: Zen Teguh