Belum Siap Hadir ke DPR, KPK Masih Cermati Putusan MK
JAKARTA, iNews.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) terkait hak angket KPK.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pihaknya akan mencermati putusan MK terkait kewenangan pengawasan DPR kepada lembaga antirasuah tersebut. Sejauh ini, kata dia, KPK belum memutuskan apakah pihaknya akan menghadiri undangan DPR terkait penyampaian rekomendasi Pansus Hak Angket KPK atau tidak.
"Sudah disampaikan kemarin di MK. Kita menghormati putusan itu tapi juga perlu dicatat, sembilan dari hakim, yang empat punya dissenting opinion. Kemudian yang perlu kita cermati lagi. Kalau tidak salah, dua kali untuk masalah (putusan) penegakan yudisial, kewenangan itu tidak ada ada di DPR," kata Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Diketahui, MK menolak permohonan uji materi Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 terkait hak angket DPR yang diajukan oleh pegawai KPK. Implikasinya, KPK menjadi objek pelaksana hak angket DPR. Dengan begitu, pelaksanaan hak angket KPK oleh DPR adalah sah.
Salah satu pertimbangannya, KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif yang melaksanakan fungsi eksekutif. Dalam konteks ini, KPK bukan termasuk lembaga legislatif dan yudikatif. Namun, dalam putusan MK itu terdapat empat hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Mereka adalah Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, dan Suhartoyo. Mereka menganggap KPK adalah lembaga independen sehingga tidak termasuk dalam lembaga eksekutif.
Terkait polemik tersebut, Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan, putusan MK memang menyatakan KPK bisa menjadi objek hak angket DPR. Namun, kewenangan pengawasan DPR termasuk hak angket tidak dapat mencampuri proses penegakan yudisial yang dilakukan KPK. Proses yudisial dimaksud adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dalam konteks kewenangan yudisial tersebut, KPK harus independen, yaitu independen dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Menurut Fajar, pada dasarnya, KPK berada di ranah eksekutif karena tugas dan kewajiban KPK di bidang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi merupakan kewenangan kejaksaan dan kepolisian. Maka MK dalam putusannya menyatakan KPK adalah lembaga yang berada di ranah eksekutif, namun tidak berada di bawah presiden.
Dari penjelasan Fajar Laksono, tampaknya sudah ada titik temu mengenai polemik tersebut. Namun, menurut Agus Rahardjo, pihaknya masih perlu mendiskusikan lagi masalah itu. Yakni, di mana batas kewenangan pengawasan DPR terhadap KPK terkait penegakan yudisial dan tata kelola keuangan.
"Apakah terbatas pada penegakan kasus hukum, jadi apakah DPR hanya boleh mengawasi tata kelola keuangan kita, tata kelola pegawai kita, apa itu. Nanti kita pertegas lagi," katanya.
Editor: Azhar Azis