Berjam-jam Menembus Hutan, Operasi Kopassus Nyaris Gagal karena Gonggongan Anjing
JAKARTA, iNews.id - Operasi senyap pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Gunung Potong, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara (Sulut) butuh kesabaran ekstra. Selain medan terjal nan mematikan, gerak prajurit Baret Merah itu hampir gagal karena gonggongan anjing.
Peristiwa ini terjadi pada September 1958 saat menumpas pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Usai menguasai Kota Manado, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD (kini Kopassus) tetap ditinggal di Sulut. Target berikutnya yakni menaklukkan Gunung Potong yang menjadi salah satu sarang persembunyian pemberontak.
Gunung Potong terletak di antara Bukit Conggaan dan Patahan. Susunan pertahanan Permesta di lokasi itu berlapis-lapi dengan senjata berat disiapkan untuk menghalau musuh. Pasukan Permesta di sana dipimpin Mayor Permesta Yan Timbuleng.
Bukan operasi yang mudah. Dalam sebuah rencana penyerbuan pada 29 Agustus 1958, pasukan elite TNI AD itu gagal meski musuh tinggal berjarak 100 meter. Pasukan RPKAD urung menyerang karena dihadapkan pada jurang-jurang yang sangat dalam.
“Dengan kegagalan tersebut, tim RPKAD diberi waktu empat hari untuk merencanakan raid (serbuan) penghancuran ke Gunung Potong,” tulis Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku ‘Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus’ dikutip Senin (3/7/2023).
Setelah melakukan pengintaian dan mempertimbangkan medan dan musuh serta cuaca, satu peleton pasukan RPKAD di bawah pimpinan Sersan Mayor Soetarno dibantu satu kompi KKO (kini Marinir) dan seorang penunjuk jalan berangkat menuju sasaran pada 2 September 1958 pukul 17.00. Para prajurit TNI itu menembus hutan menyusuri jalan yang tidak akan diperkirakan oleh musuh. Jalan itu penuh semak belukar dengan jurang berbatu.
Dini hari pukul 02.00 dalam keadaan gelap gulita, pasukan sudah sampai pada garis pertahanan Permesta. Serangan pun siap-siap dilancarkan. Tapi, rencana itu terpaksa ditunda.
“Karena adanya gonggongan anjing Permesta, mereka (pasukan RPKAD) berhenti sementara dan berbalik menuju bukit yang paling tinggi,” kata Iwan.
Sampai di puncak bukit, tim RPKAD menemukan jalan setapak tertutup semak belukar yang ternyata mengarah ke pos musuh. Setelah akhirnya berjarak 25 meter dari pos musuh, terlihat salah seorang anggota Permesta tengah menghangatkan badan di tungku api.
Pasukan pun segera membagi tugas untuk menyerbu dengan menempatkan penembak bren, launcher, dan granat untuk setiap pos yang akan diserang. Tapi itu juga tidak mulus. Mengingat situasi gelap gulita dan dirasa sangat riskan bila terjadi baku tembak karena bisa mengenai pasukan sendiri, diputuskan untuk melakukan serangan senyap mendadak.
Fajar hampir menyingsing ketika serangan dadakan dilakukan. Begitu tembakan penyergapan dilontarkan, terjadi perkelahian satu lawan satu dengan sangkur.
Pukul 04.00 pagi, sarang Permesta dapat dikuasai. Musuh yang selamat kocar-kacir melarikan diri dan meninggalkan senjata berat yang nantinya digunakan untuk menyerang musuh di bawah bukit.
Pertahanan musuh itu lantas diserahkan kepada KKO, sementara pasukan RPKAD terus bergerak ke depan. Mereka menghadapi musuh lagi dan terjadi pertempuran sengit selama 2 jam.
“Pada 3 September 1958, pukul 06.00, pertahanan Permesta di Gunung Potong dapat dikuasai seluruhnya oleh RPKAD,” ucap Iwan.
Buku Kopassus juga menuliskan, pasukan Permesta kembali melakukan gerilya setelah peristiwa itu, tetapi dapat ditumpas oleh operasi lanjutan yang dilakukan oleh calon RPKAD dari Batalyon 2/RPKAD di bawah pimpinan Kapten Seno Hartono dan Kapten S Soekoso.
Untuk diketahui, kemunculan Permesta didorong atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Hampir mirip terjadi di Sumatra yang akhirnya memunculkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Permesta bermula pda 2 Maret 1957 ketika puluhan orang berkumpul dalam suatu pertemuan yang dibuka secara resmi oleh Komandan Tentara Teritorium VII (TT-VII) Wirabuana Herman Nicolas Ventje Sumual. Pertemuan itu dihadiri oleh orang-orang sipil terkemuka di Makassar.
”Pada pertemuan itu Sumual membacakan proklamasi keadaan darurat perang untuk Indonesia Timur. Setelah pembacaan proklamasi, Saleh Lahade kemudian membacakan Piagam perjuangan semesta (Permesta). Istilah semesta dipilih untuk menunjukkan bahwa perjuangan itu meliputi semua bidang dan wilayah,” kata Barbara Sillars Harvey dalam ‘Permesta Pemberontakan Setengah Hati’.
Editor: Rizal Bomantama