Bertemu di Timor Leste, Jenderal Kostrad Ini Punya Panggilan Khusus ke Prabowo: Mas Bravo!
JAKARTA, iNews.id – Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Hor) (Purn) Prabowo Subianto identik dengan sandi 08. Namun, tak banyak orang tahu jika presiden terpilih RI itu juga punya kode lain sebagai panggilan. Salah satunya, Bravo.
Sandi Bravo itu muncul ketika Prabowo menjabat Wakil Komandan Detasemen 81 Korps Komando Pasukan Khusus alias Kopassus. Jenderal lulusan Akademi Militer 1974 ini bersama pasukannya kembali diterjunkan ke Timor Timur. Peristiwa itu tepatnya pada 1983.
“Saat itu, pasukan Fretilin melanggar kontak damai dengan melakukan penyerangan besar-besaran di hampir semua konsentrasi TNI terutama di sektor tengah dan timur,” kata Prabowo dalam bukunya ‘Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto’, dikutip Rabu (14/8/2024).
Fretilin atau Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Leste (Frente Revolucionaria do Timor Leste Independente), yakni sebuah gerakan pertahanan yang ingin memerdekakan Timor Leste dari Portugal, kemudian Indonesia. Kelak gerakan ini berubah menjadi partai politik.
Fretilin lahir sebagai imbas Revolusi Bunga (atau kerap disebut juga Revolusi Anyelir) di Portugal. Sekadar diketahui, pada 25 April 1974, Portugal mengalami kudeta militer damai. Revolusi yang dipimpin oleh Movimento das Forças Armadas (MAF) di Lisbon itu dengan cepat berubah menjadi gerakan massa dan memicu kerusuhan sipil.
Kudeta nyaris tanpa darah itu ingin menggulingkan pemerintahan yang berciri kediktatoran otoriter (estado novo), menjadi demokrasi. Bagi negara-negara jajahan Portugal, termasuk Timor Leste, Revolusi Anyelir itu memberikan inspirasi untuk melakukan hal sama.
“Dengan terbentuknya Revolusi Bunga, bagi rakyat Timor diterima dengan perasaan gembira serta terharu mencermati kesaksian tentang kegembiraan yang diperlihatkan oleh bermacam kejadian di Lisbon,” tulis Sholahuddin Fajar dalam tesis di Universitas Pendidikan Indonesia bertajuk ‘Tangan-Tangan Barat di Timor Timur: Keterlibatan Portugal, Australia, dan Amerika Serikat dalam Masalah Timor Timur dari Indonesia Tahun 1976-1999.’
Prabowo menceritakan, timnya diberi sandi Chandraca 8, dengan panggilan Bravo. Pasukan Bravo dimasukkan ke sektor tengah Timor Leste. Prajurit tempur ini bermarkas di gedung bekas kesusteran di Ossu, setengah perjalanan antara Baucau dan Viqueque.
Di sinilah pertama kali Prabowo bertemu Kolonel Fransiskus Xaverius Sudjasmin. Tentara kelahiran Salatiga, Jawa Tengah tersebut kala itu bertindak sebagai komandan sektor tengah. Prabowo pun melapor pada atasannya.
“Saya melihat Pak Djasmin seorang Jawa yang sangat simpatik dan berkumis. Selalu senyum, bercanda walau di tengah operasi. Terjadi suatu chemistry yang pas,” tutur mantan komandan jenderal Kopassus ini.
Prabowo juga mengingat Sudjasmin memimpin dengan penuh ketenangan dan kebapakan. Djasmin yang kelak mencapai posisi bintang tiga sebagai wakil KSAD itu juga dinilainya tidak pernah menekan anak buah, serta tidak mau meninggalkan prajurit.
Banyak kenangan membekas mengenai hubungan dengan atasannya itu. Dalam pandangan Prabowo, Djasmin seorang sosok komandan dan panglima yang patut jadi contoh.
Djasmin juga selalu membela kalau ada senior yang menjelek-jelekkannya. “Pembelaan itu karena memang melihat dan mengetahui bagaimana kinerja atau kepemimpinan saya,” ucap jenderal yang pernah mengenyam pendidikan antiteror di GSG-9 Jerman tersebut.
Selain di medan perang, ada pengalaman unik yang diingatnya. Ketika itu Djasmin sudah menjadi wakasad, sementara dirinya menjabat wadanjen Kopassus. Prabowo punya anak buah, seorang perwira asal Papua bernama Nico Obaca Woru.
“Dia sudah berkali-kali tidak lulus tes Seskoad. Alasan tidak lulus bermacam-macam,” katanya.
Mantan Pangkostrad ini lantas menghadap Letjen Djasmin dan meminta bantuan agar Nico dapat masuk Seskoad. Djasmin pun segera mengecek. Ternyata, diketahui bahwa prajurit dari angkatan 1978 itu memiliki gejala penyakit liver.
Kendati demikian, Prabowo bersikukuh meminta Pak Djasmin untuk meloloskannya. Kenapa? Sebab dia meyakini penyakit itu baru sebatas indikasi. Dengan kata lain, Nico belum benar-benar terjangkit liver.
Djasmin akhirnya bersedia membantu untuk meluluskan dengan syarat: Prabowo harus bertanggung jawab kalau di kemudian hari Nico Obaca benar-benar menderita liver. Prabowo setuju.
“Akhirnya perwira asal Papua itu lolos berkat bantuan Pak Djasmin. Dan terbukti dia (Nico) mampu dan pantas. Ini contoh bagaimana beliau (Djasmin) berempati dengan anggota di lapangan,” ucap putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini.
Prabowo tak sungkan menyebut sangat akrab dengan Sudjasmin. Ada satu hal lagi yang juga sangat membekas. Menurut dia, sepanjang kenal, Djasmin selalu memanggilnya dengan sebutan Mas Bravo.
“Beliau jarang memanggil saya dengan sebutan Jenderal Bowo atau Mas Bowo,” kata lulusan Akmil 1974 ini.
Sudjasmin lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada 26 Agustus 1943. Sebagian besar kariernya berada di pasukan elite Kostrad. Berbagai jabatan yang pernah dipercayakan kepadanya antara lain Danyonif 320/Badak Putih (1975-1978), Danrem 073/Makuratama (1987-1988) hingga Pangdivif 1/Kostrad (1988-1989).
Djasmin lantas digeser sebagai Kasdam VIII/Trikora pada 1989-1992. Setelah itu jenderal infanteri ini dipromosikan sebagai Pangdam II/Sriwijaya (1992-1993). Dari teritorial dia kembali ke kantor sebagai Irjenad (1993-1995) dan puncaknya menjabat wakasad pada 1995 hingga 1997.
Djasmin meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, pada 22 Januari 2021.
Editor: Rizky Agustian