Cerita Irman Gusman Perjuangkan DPD RI
JAKARTA, iNews.id – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkantor di Kompleks Parlemen Senayan bersama dengan MPR RI dan DPR RI. Ternyata ada kisah yang panjang kenapa lembaga ini bisa lahir, memiliki kewenangan dan bekerja hingga hari ini.
Hal ini disampaikan oleh mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam kanal Youtube Fadli Zon Official. Dia menceritakan bahwa pada 1999, utusan daerah yang menjadi cikal bakal DPD RI sempat dihilangkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
“Waktu MPR terbentuk tahun 99, fraksi utusan daerah dihilangkan karena dianggap mewakili partai tertentu yang ada di situ, yang waktu paling banyak Golkar,” kata Irman dikutip MNC, Sabtu (22/1/2022).
Namun, Irman melanjutkan, karena dirinya kala itu merupakan anggota MPR yang berasal dari Fraksi TNI/Polri, ia menanyakan ke Ketua Fraksi waktu itu Ari Subarno soal kemana dia harus bergabung, dan Irman diberikan kebebasan. Namun, dia menanyakan kembali kepada DPRD Sumatera Barat, karena bagaimanapun ia duduk di MPR karena dipilih oleh DPRD.
Padahal, Irman mengaku kala itu ia ditawari oleh banyak partai, termasuk oleh Partai Golkar yang kala itu dipimpin oleh Akbar Tanjung, karena sangat berkuasanya MPR saat itu, bisa mengangkat presiden dan juga memberhentikannya.
“MPR berkuasa betul, milih presiden, menetapkan GBHN, bisa memberhentikan presiden, bahkan kita berhentikan presiden betulan waktu itu,” ujarnya.
Akhirnya, Irman mencari utusan yang paling netral yakni utusan Golongan yang waktu itu diketuai oleh Marzuki Usman, anggotanya hanya ada 4 orang termasuk Sarwan Hamid, Abdurrahman Wahid sebagai utusan NU dan dirinya sendiri. Namun, utusan Golongan hanya bertahan beberapa bulan saja, dan pada sidang berikutnya dirinya meminta agar utusan Daerah diadakan kembali dan diamini.
“Yang seharusnya anggotanya 135 hanya terkumpul sekitar 38 orang. Ini motor penggerak perjuangan, soal tadinya hampir nyaris enggak ada,” ungkap Irman.
Kemudian, politikus asal Sumbar ini melanjutkan, setelah amandemen keempat, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, MPR hanya lembaga negara. Namun, karena masalah daerah penting, bukan saja orang dan politik, tapia da sumber daya alam (SDA) dan lain sebagainya, maka DPD tetap ada. Setiap provinsi diwakili empat orang, dan waktu Pemilu 2004 itu ada 112 anggota dari 28 provinsi.
Irman juga menceritakan saat dirinya memimpin DPD pada periode 2009-2014, bersama dua Wakil Ketua DPD RI yakni GKR Hemas dan Laode Ida, ia memimpin rapat pimpinan di Hotel Mulya, dan waktu itu anggaran DPD masih menumpang pada MPR RI. Dan saat ia memimpin juga lah tulisan “Dewan Perwakilan Daerah” bisa terpampang di Gedung DPR bersama dengan tulisan MPR dan DPR.
“Dulu waktu zaman pak Ginandjar (Ginandjar Kartasasmita/Ketua DPD RI pertama), karena awal, banyak sekali yang berbeda. Waktu itu pak Agung dan pak Ginanjar enggak masalah, tapi aspirasi kuat sekali, keberadaan kita dalam situasi itu belum begitu nyaman. Kalau saya dengan pak Taufik (Taufik Kiemas/Ketua MPR) bisa bahasa padang, akhirnya baru ada (tulisan DPD),” kenangnya.
Irman menambahkan, saat ini Indonesia menganut sistem bicameral, tapi masih soft bicameral karena fungsi DPD yang tidak begitu banyak. Tapi, waktu 2009, DPD mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan sehingga Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) mengakomodir kewenangan DPD terkait pembahasan UU.
“Hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan DPD, otonomi daerah, sumber daya alam, memang pertimbangan atau usulan di DPD diakomodasi. (RUU) Usulan saya itu pertama kali dari DPD, melakukan inisiatif UU Kelautan zamannya pak Marzuki Alie (Ketua DPR 2009-2014),” kata Irman.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq