Cerita Jenderal TNI Ditolak Jadi KSAD, Terpaksa Dilantik dengan Iringan Musik Damkar
JAKARTA, iNews.id - Bambang Utoyo sempat menjadi sorotan saat konflik perwira TNI AD saat tahun 1950-an. Intervensi politik disebut menjadi penyebab konflik.
Akibat konflik tersebut, KSAD Jenderal AH Nasution dicopot dari jabatannya beberapa bulan kemudian bersama Kolonel Tahi Bonar Simatupang yang kala itu menjabat Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Posisi KSAD yang kosong sempat dijabat Kolonel Bambang Soegeng. Dia dinilai sebagai tokoh netral.
Namun, usaha Kolonel Bambang Soegeng untuk menyatukan TNI AD tak memberi hasil signifikan. Hingga akhirnya, Bambang mengundurkan diri.
Jabatan itu pun sempat lebih dulu diemban pejabat interim sementara, Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Tetapi kemudian, pemerintah lewat PM Iwa Koesoemasoemantri, menjatuhkan pilihan kepada Panglima Tentara Teritorium II, Kolonel Bambang Utoyo dengan dinaikkan pangkatnya jadi Jenderal Mayor.
Namun, dipilihnya Bambang Utoyo juga memicu pro dan kotra di internal TNI AD.
Seperti dikutip buku ‘Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia’, sejumlah perwira memboikot pelantikan KSAD yang baru. Barisan Musik Angkatan Perang pun tidak dihadirkan. Mereka yang memboikot meminta pelantikan Bambang Utoyo dianulir.
Meski begitu, pelantikan dengan tanpa tata cara militer yang lengkap tetap digelar. Walau tanpa barisan musik TNI, lagu Indonesia Raya tetap dikumandangkan dengan bantuan Barisan Musik Pemadam Kebakaran (Damkar).
Friksi tidak berhenti sampai di situ. KSAD yang baru dilantik bahkan tidak dibolehkan masuk ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Sebuah peristiwa yang buntutnya melahirkan mosi Zainal Baharuddin dan menjatuhkan Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Kabinet yang baru pimpinan Burhanuddin Harahap pun sempat dihujani tekanan jika menyoal friksi TNI ini.
Kabinet Burhanuddin Harahap yang didominasi politisi Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU) itu menunjuk lagi Nasution sebagai KSAD dengan kenaikan pangkat Jenderal Mayor pada 1 November 1955.
Guna meredam friksi berkelanjutan, Nasution kemudian memaparkan konsep Front Lebar atau Jalan Tengah. Inti dari konsep itu adalah TNI takkan berusaha mengambil kekuasaan, namun akan tetap berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada semua tingkatan.
“Kita tidak menginginkan dan kita tidak akan menjiplak situasi di beberapa negara Amerika Latin, di mana tentara bertindak sebagai satu kekuatan politik langsung,” kata Nasution pada suatu kesempatan di hadapan taruna Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah, pada Desember 1958.
“Demikian pula, kita tidak akan meniru model Eropa Barat, di mana tentara merupakan alat mati dari pemerintah, atau contoh dari Eropa Timur,” ujar Nasution.
Baik Soekarno maupun Nasution, berangsur mulai menyadari kepentingan masing-masing secara lebih akur. Soekarno menyadari bahwa yang mampu mencegah kesatuan RI terpecah adalah tentara.
Di sisi lain, keinginan Nasution pada 17 Oktober 1952 sebelumnya pun akhirnya terlaksana pada 1959. Soekarno melahirkan Dekrit 5 Juli 1959. Parlemen dibubarkan, menyusul dijalankannya sistem Demokrasi Terpimpin.
Editor: Muhammad Fida Ul Haq