Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Sosok AR Baswedan
JAKARTA, iNews.id – Hari ini, 8 November 2018, Abdurrahman Baswedan atau lebih dikenal dengan AR Baswedan, akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Kakek Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu masuk dalam daftar enam tokoh sejarah yang menerima gelar serupa dari kepala negara pada tahun ini.
AR Baswedan lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 9 September 1908 dari orang tua peranakan Arab Hadramaut. Meski keturunan Arab, lidah Baswedan sangat kental dengan Bahasa Jawa khas Surabaya. Masa kecil dan muda memang dia habiskan di kota kelahirannya itu (hingga usia 25 tahun).
Sejak berusia 17 tahun, Baswedan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Muhammad Husnil (2014) dalam buku Melunasi Janji Kemerdekaan mengungkapkan, KH Mas Mansoer kerap meminta Baswedan muda untuk menyebarluaskan ajaran kemuhammadiyahan serta keislaman ke berbagai daerah. Baswedan juga tercatat sebagai anggota Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi pemuda Islam Indonesia terpelajar.
Pada 1932, Baswedan memulai karier profesionalnya di dunia jurnalistik sebagai redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya. Selanjutnya, dia menjadi redaktur Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin Dokter Soetomo. Pada 1934, dia hijrah ke Semarang dan menjadi redaktur Harian Matahari yang terbit di kota itu. Pada tahun-tahun berikutnya, Baswedan menjadi wartawan di sejumlah media yang ada di Semarang dan Yogyakarta. Terakhir, dia menjabat penasihat redaksi Harian Masa Kini (surat kabar milik Muhammadiyah) di Yogyakarta, pada dekade 1970-an.
Harry J Benda dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 menyebut sosok Baswedan sebagai wartawan pejuang yang produktif dalam menghasilkan karya tulis. “Pada era revolusi, tulisan-tulisannya acap kali tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimistis,” tulis Benda.
Di dunia politik, karier AR Baswedan dimulai tatkala dia terpilih menjadi ketua Persatuan Arab Indonesia (PAI). Ismail Fajrie Alatas dalam karya tulis berjudul Becoming Indonesians: The BÄ Ê¿AlawÄ« in the Interstices of the Nation yang dimuat jurnal Die Welt des Islams (2011) mengungkapkan, sebagai gerakan politik, PAI memperjuangkan penyatuan penuh (integrasi) keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia. Organisasi itu juga terlibat aktif dalam perjuangan bangsa.
Di samping mengonsolidasikan kekuatan internal PAI, AR Baswedan giat membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan dari luar organisasinya, antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin. Pada 21 Mei 1939, PAI bergabung dalam Gerakan Politik Indonesia (Gapi) yang dipimpin Thamrin. Melalui perhimpunan tersebut, partai-partai politik bersepakat untuk menyatukan diri dalam wadah negara yang kelak bernama Indonesia.
Sejak bergabung dalam Gapi, posisi PAI sebagai gerakan politik dan kebangsaan kian menguat. Dua tahun sebelum masuk ke Gapi, AR Baswedan juga membawa PAI bergabung ke dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937. MIAI inilah yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada masa pendudukan Jepang, AR Baswedan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In (Dewan Penasihat Pusat bentukan penguasa Jepang) yang diketuai Soekarno. Menjelang kemerdekaan Indonesia, dia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di badan inilah, Baswedan bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Setelah Indonesia diproklamasikan, Baswedan mendapat posisi sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang diketuai Kasman Singodimedjo. Di masa-masa awal berdirinya republik ini, AR Baswedan dipercaya menjabat menteri muda penerangan (atau juga disebut wakil menteri penerangan). Bersama dengan Haji Agus Salim (menteri muda luar negeri), Rasyidi (sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir, dan Sutan Pamuntjak, Baswedan menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk Pemerintah RI.
Para diplomat itu berusaha melobi para pemimpin negara-negara Arab agar mengakui kedaulatan Indonesia. Perjuangan itu pun membuahkan hasil. Setelah melalui lobi yang cukup panjang, eksistensi Republik Indonesia memperoleh pengakuan pertama dari Mesir, baik secara de facto maupun de jure. Keberhasilan diplomasi AR Baswedan dan kawan-kawan ketika itu akhirnya disusul dengan pengakuan negara-negara lain atas kedaulatan Indonesia.
Pada dekade 1950-an, AR Baswedan masuk Partai Masyumi. Dia pun lantas menjadi salah satu pentolan partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu. Deliar Noer dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 menyimpulkan, AR Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Natsir dalam Masyumi. Baswedan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986, di usia 77 tahun.
Editor: Ahmad Islamy Jamil